Kliping Pengetahuan Umum

Weblog berisi kliping artikel pengetahuan umum yang bermanfaat. Seperti Kesehatan, Makanan, Pendidikan Anak, Pengobatan, Psikologi Populer, Hobi dan lain-lain.

Sunday, July 28, 2002

Seputar Masalah Resistensi Antibiotika

Oleh Tonny Sumarsono, Apoteker
Dimuat di Pikiran Rakyat, 28 Juli 2002

SEBAGIAN besar masyarakat kita dewasa ini sudah mengenal antibiotika, setidaknya pernah mendengar nama jenis obat seperti itu, baik dari teman, tetangga atau dari dokternya sendiri maupun dari media cetak atau dari televisi dan radio. Memang antibiotika sepertinya begitu ”akrab” di telinga dan memang dalam kenyataannyapun pemakaian antibiotika begitu banyak dari berbagai jenis.
Keampuhan antibiotika dalam menumpas berbagai penyakit infeksi hingga kini masih tetap paling unggul. Bisa diibaratkan, antibiotika itu adalah ”obat dewa” untuk memberantas infeksi yang ternyata masih saja menjadi momok bagi masyarakat terutamam di negara-negara dunia ketiga. Menurut sebuah survei, bisnis farmasi di dunia ini, 40%-nya disedot untuk pemakaian macam-macam antibiotika. Jadi pangsa pasarnya begitu besar dibandingkan dengan jenis-jenis obat yang lainnya. Sejak Flemming menemukan Penisilin pada tahun 1928 lalu, maka berbagai penemuan baru berbagai antibiotika seolah meluncur bagaikan meteor. Beberapa generasi baru antibiotika terus ditemukan oleh para ahli farmasi dan kedokteran, sejalan dengan makin bertambahnya strain-strain baru bakteri yang mesti dibasmi.
Antibiotika yang baru atau disebut juga sebagai antimikroba, adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba (terutama fungi/jamur) yang sifatnya bisa membasni jenis mikroba lainnya. Zat ini bisa diperolaeh secara alamiah, kecuali ada beberapa jenis yang dibuat semi sintesis dan sintetis.
Tetapi dengan antibiotika adalah sebuah pengobatan yang cukup kompleks, karena melibatkan tiga faktor penting yaitu mikrobanya sendiri sebagai agen aptogen (pembawa sakit), manusia yang diserangnya sebagai hospes dan tentunya jenis antibiotika sendiri yang dipakai untuk membunuh agen patogen itu. Ketiga faktor itu saling berinteraksi sempurna dan menentukan perjalanan atau kesembuhan sebuah penyakit yang dalam hal ini tentunya penyakit infeksi.
Daya kerja antibiotika ada yang bersifat bakterisidal atau membunuh bakteri dan ada pula yang bersifat bakteriostatik atau yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri. Untuk jenis yang kedua itu, maka upaya penyingkiran dan pemusnahan bakterinya masih tergantung kepada daya tahan tubuh seseorang atau hospesnya.
Lantas apakah bila seseorang yang diberikan terapi dengan antibiotika untuk penyakit infeksi yang menyerangnya, bisa langsung sembuh? Jawabnya bisa ya dan juga bisa tidak. Hal ini tergantung kepada ketepatan diagnosis doter untuk jenis antibiotika yang diberikannya apakah cocok atau tidak dengan jenis mikroba yang menyerangnya.
Disamping itu, faktor lainnya adalah dosis dan lamanya pengobatan juga sangat berpengaruh kepada kesembuhan seorang pasien. Namun sering pula terjadi, meskipun semua aspek-aspek itu sudah tepat, tapi terkadang penyakitnya tak kunjung sembuh juga. Jika hal ini terjadi, kemungkinan telah terjadi adanya resistensi.
Resistensi pada suatu mikroba adalah suatu keadaan dimana kehidupan mikroba itu sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran antibiotika. Sifat ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dari suatu mahluk hidup.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), resistensi antibiotika ini dari hari ke hari semakin menajam saja. Mungkin saja mikroba itu sudah demikian ”mengenal” dengan kekuatan antibiotika yang akan menyerangnya, sehingga mereka bisa ”berkelit” untuk mempertahankan diri. Laporan ini lebih jauh menyebutkan, resistensi itu semakin bermakna kelihatan pada kasus-kasus penyakit Tuberkulosis (TB Paru) yang memang terkenal terapinya cukup lama dan banyak sekali variasi obat-obatnya.
Diperkirakan tingkat resistensi ini meningkat hampir 50% dibandingkan tahun 1990 lalu, dan yang cukup mengherankan terjadi di negara-negara yang sudah maju seperti Denmark, Italia dan Jerman. Bahkan angka yang lebih parah lagi terjadi di India, Rusia, Selandia Baru, Iran, Cina dan beberapa negara di Asia Selatan dan Tenggara yang mencapai 65% lebih.
Kegagalan terapi TB paru yang memicu terjadinya resistensi disinyalir karena ketidakpatuhan pasien dalam melaksanakan proses terapinya yang cukup lama, biasanya minimal tiga bulan terus menerus harus mengonsumsi obat dalam jumlah yang cukup banyak. Biasanya golongan Rifampisin, Ethambutol, Isoniazide dan Pyrazinamide adalah kombinasi obat yang diberikan untuk para penderita TB paru.
**
KECEPATAN resistensi yang akhir-akhir ini semakin pesat, sering kali disebabkan pula oleh penggunaan yang berlebihan atau dosis yang kurang adekuat bahkan bisa pula karena penyalahgunaan antibiotika.
Dr. Tupasi, seorang konsultan penyakit infeksi dari Yayasan Penyakit Tropis di Pusat Medis Makati, Filipina menjelaskan bahwa penggunaan antibiotika yang serampangan dan tidak optimal disertai dengan keadaan malnutrisi dari pasiennya, menyebabkan resistensi semakin cepat berkembang dan kini sudah merupakan problem global yang cukup serius.
Antibiotika B-laktam adalah contoh antibiotika yang banyak diresepkan di dunia, kini ternyata paling banyak menemui problem resistensi, khususnya untuk bakteri golongan Gram Negatif seperti Pseudomonas aeruginosa yang mencapai angka 60%, K. pneumoniae sekira 30% dan E. Coli yang mencapai 35%.
Sefalosporin pun yang merupakan antibiotika B-Laktam generasi keempat, juga terbukti bisa menimbulkan kegawatan resensi baru, karena diperantarai oleh plasmid, yang merupakan bagian luar kromoson yang mampu bereflikasi menghasilkan B-laktamase dengan spektrum luas.
Enzim yang canggih ini mampu merangsang antibiotika B-Laktam generasi lama ataupun baru serta mampu memindahkan gen resisten kepada spesies lainnya.
Resistensi lainnya dilaporkan juga untuk penyakit kelamin jenis gonore (GO) yang semakin resisten terhadap antibiotika jenis ampisilin. Di Spanyol angka resistensi untuk penyakit ini terhadap impisilin mencapai 35%, di Mesir 30%, Taiwan 40% dan belahan Afrika hitam sekitar 65%.
Dari India juga dilaporkan angka resistensi untuk golongan Kloramphenikol dan Kotrimazole, dua jenis antibiotika pilihan untuk penyakit tipus juga sudah mengalami banyak kasus resistensi, meskipun angkanya tidak disebutkan dengan jelas.
Perkembangan lain lagi adalah munculnya resistensi ganda (multiple resistence), akibat transfer sambung menyambung dari plasmid. Resistensi ganda itu dapat terjadi terhadap antibiotika lain yang strukturnya sama sekali berbeda dari antibiotika B-Laktam.
”Kita akan lebih sulit mengobati mereka yang sudah terkena resistensi suatu antibiotika, dibandingkan dengan mereka yang baru diterapi, meskipun penyakit infeksinya lebih berat,” kata Dr. Donald Alpine, seorang konsultan anak dari Wyoming University, USA.
Jadi menjalani terapi dengan antibiotika yang tidak tuntas, justru akan memukul balik si penderita, karena bakteri tersebut akan membentuk mekanisme pertahanan diri, sehingga jika diberikan jenis antibiotika yang sama pada kesempatan lainnya, tidak akan mempan lagi.
Sebuah konferensi ilmiah yang diadakan oleh Public Health Laboratory Service (PHLS) di Warwick tahun lalu menyerukan kepada dunia kesehatan, agar masalah resistensi antibiotika ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari semua pihak, karena ternyata penyakit-penyakit infeksi yang ditimbulkan lewat udara bisa menewaskan sekira dua juta orang dalam periode empat tahun terakhir ini dan hal ini banyak terkait pula dengan masalah resistensi antibiotika yang tidak sepenuhnya ”dimengerti” oleh beberapa negara terutama di benua hitam Afrika yang masih sangat jelek infrastruktur kesehatannya.
Imbauan lainnya juga ditujukan kepada para dokter/klinisi agar tidak terlalu gampang memberikan antibiotika dengan tujuan agar pasien itu bisa ”belajar” membuat mekanisme pertahanan tubuhnya sendiri dan menjadi lebih kebal terhadap serangan berbagai penyakit.
Beberapa waktu lalu WHO juga telah mengeluarkan Pedoman Penggunaan Antibiotika di rumah sakit dan Primary Health Setting yang diyakini merupakan salah satu strategi yang baik untuk menjamin penggunaan antibiotika secara lebih bijaksana.
Resistensi hanya dapat dicegah dengan pemakaian antibiotika yang benar dari para klinisi dan tentunya kepatuhan si pasien itu sendiri yang mesti menghabiskan seluruh antibiotika yang diberikan dokter, meskipun penyakit sudah membaik.
Masalah resistensi adalah masalah kita bersama, dan mengingat masyarakat kita yang heterogen, jadi hendaknya resistensi antibiotika ini menjadi perhatian para tenaga medis dalam upaya kesejahteraan generasi penerus bangsa ini.

Sunday, July 21, 2002

Teori PEA: Daya Tahan Cinta Hanya Empat Tahun!

Oleh Rinrin R. Khaltarina
(Alumni FISIP dan Fak Psikologi Unpad, tengah menempuh pendidikan S2 di UGM)
Dimuat di Pikiran Rakyat, 21 Juli 2002

CINTA itu tidak abadi! Nah, itulah kabar mutakhir tentang cinta. Kesimpulan yang amat ”berani” itu berhasil ditemukan oleh seorang antropolog asal AS, Helen Fischer, setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun.
Tapi, mungkinkah cinta bisa diutak-atik seanalitis itu, bahkan sempat-sempatnya dibahas dari segi kimia dan sosial segala, padahal bagi banyak orang, cinta identik dengan sebuah benda misterius? Cinta, meskipun bisa dirasakan, konon sangat tidak mudah dimengerti. Ia bisa meluapkan kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Bisa menciptakan kebebasan, namun bisa juga membuat manusia bagaikan seorang tawanan.
Cinta jugalah yang menyemburkan segudang kreativitas bagi sebagian penyair besar seperti Kahlil Gibran dalam menciptakan puisi, maupun komposer sekaliber Beet-hoven. Tapi, di sinilah membingungkannya, terkadang cinta juga bisa membuat orang kehilangan semangat sekaligus mengalami kehancuran kreativitas. Jadi, kalau memang bisa diteliti secara ilmiah, cinta itu sebetulnya apa?
Dalam hubungan antar jenis kelamin —terutama yang tengah dilanda asmara, fenomena cinta sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dirasakan. Nah, ketika mata bertemu pandang yang berlanjut pada persentuhan tangan, biasanya orang akan merasakan gejala yang sama: darah mengalir lebih cepat, semburat merah muncul di pipi, keringat dingin membasahi telapak tangan, bahkan menghela napas pun jadi terasa berat. Dalam situasi seperti inilah hati bagaikan bergolak, disesaki gelora cinta.
Menurut Helen Fischer —seorang ”peneliti cinta” pada Universitas Boston, AS, reaksi romantis semacam itu timbul berkat kerja sejumlah hormon yang ada dalam tubuh, khususnya hormon yang diproduksi otak. Gelora cinta manusia yang meledak-ledak tak ubahnya reaksi kimia. Celakanya, senyawa antar hormon ini sangat rentan. Dan, berdasarkan teori four years itch yang dipublikasikannya, daya tahan gelora cinta itu hanya mencapai empat tahun saja. Setelah itu, punah tak berbekas. Sebagaimana yang terjadi pada sebuah reaksi kimia, wujudnya tak akan pernah kembali seperti semula.
Sesungguhnya pula, perasaan yang menghanyutkan dalam masa jatuh cinta tadi bisa dianalisis secara kimiawi. Jadi, prosesnya dimulai saat mata saling bertemu. Tangan yang bersentuhan bagaikan dialiri tegangan listrik. Fenomena ini sudah pasti karena ulah hormon tertentu yang ada di otak, mengalir ke seluruh saraf hingga ke pembuluh darah yang terkecil sekalipun. Inilah yang membuat wajah memerah, dan timbul perasaan ”melayang”. Aliran darah yang demikian cepat membuat bernafas pun menjadi berat.
Ngomong-ngomong, bagaimana hormon dalam otak bekerja, ketika seseorang tengah jatuh cinta? Bisa dijelaskan sebagai berikut. Ketika kontak mata sedang berlangsung, tertanam suatu ‘kesan’. Inilah fase pertama. Otak bekerja bagaikan komputer yang menyajikan sejumlah data, dan mencocokkannya dengan sejumlah data yang pernah terekam sebelumnya. Ia mencari apa yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang ditimbulkan oleh lawan jenis pun bisa menjadi pemicu timbulnya rasa romantis.
Fase kedua, yiatu munculnya hormon phenylethylamine (PEA) yang diproduksi otak. Inilah sebabnya ketika terkesan oleh seseorang, secara otomatis senyum pun dilontarkan. Spontan, pabrik PEA pun aktif bekerja ketika ”peluit” mulai dibunyikan. Hormon dopamine dan norepinephrine yang juga terdapat dalam saraf manusia, turut mendampingi. Hormon-hormon inilah yang menjadi pemicu timbulya gelora cinta. Setelah dua tiga tahun, efektivitas hormon-hormon ini mulai berkurang.
Fase ketiga yaitu ketika gelora cinta sudah reda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins, senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak. Sebagaimana efek yang ditimbulkan narkotik, saat inilah tubuh merasa nyaman, damai, dan tenang.
Ada hormon lain yang akhir-akhir ini dihubungkan dengan cinta. Diproduksi oleh otak, hormon ini membuat syaraf menjadi sensitif. Saat itulah tubuh akan didorong untuk merasakan sensasi cinta. Hor-mon ini pulalah yang diduga bisa mendorong terjadinya proses orgasme ketika bercinta.
Teori tentang cinta pernah populer sekitar 5 hingga 6 tahun yang lalu. Tepatnya, ketika pendekatan ilmu faal yang membedah tubuh manusia menjadi populer. Selanjutnya, teori ini kian berkembang dan mulai dihubung-hubungkan dengan bidang ilmu lainnya. Bela-kangan, ada juga teori cinta dengan pendekatan bioneurologi yang melihat, membandingkan, dan mengamati struktur otak orang gila misalnya, atau psiko-fisiologi yang mempelajari kaitan antara perilaku manusia dan pengaruh hormon pada tubuhnya. Cinta sebenarya sama dengan emosi. Kalau emosi seringkali ditentukan oleh sejumlah hormon (terutama dalam siklus menstruasi), maka hal yang sama juga berlaku dalam proses jatuh cinta. Terutama ketika terjadi cinta pada pandangan pertama, ada getaran dalam tubuh. Tapi, apakah iya, gelora cinta semata-mata ditentukan oleh hormon dalam tubuh?
Diane Lie —seorang psikolog sekaligus peneliti ulet pada sebuah universitas di Beijing membeberkan, meskipun urusan cinta bisa dijelaskan secara kimiawi, namun kecamuk cinta tidak semata-mata hanya ditentukan oleh aktivitas hormon, dan manusia tidak berdaya mengatasinya. Juga tidak selalu berarti bila kadar hormon berkurang, berarti getarannya pun berkurang.
Memang, pemacu semburan cinta (PEA) tadi, memiliki pengaruh kerja yang tidak tahan lama. Hormon yang secara ilmiah memiliki kesamaan dengan amfetamin ini, hanya efektif bekerja selama 2-3 tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun bagaikan imun, ‘kebal’ terhadap si pemicu gelora.
Akan tetapi, sekali lagi, masih menurut Diane, proses jatuh cinta itu tidak semata-mata hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi kimiawinya. Apalagi dalam proses orang pacaran hingga menikah, banyak faktor sosial lainnya yang menentukan. Contohnya proses jatuh cinta versi tresno jalaran soko kulino (datangnya cinta karena pertemuan yang berulang-ulang). Demikian pula ketika kita marah dan ingin membentak orang lain, hormon memang punya pengaruh khusus, namun tetap ada faktor lain yang ikut menentukan.
Manusia merupakan makhluk yang paling kompleks. Jika proses reaksi kimia terjadi pada hewan, barulah teori rendahnya daya tahan PEA ini bisa dipercaya. Jadi, teori Helen Fiscer yang disebut four years itch juga bisa dimentahkan.
Pendeknya, teori PEA dilandaskan pada pendekatan ilmu eksakta, sedangkan teori four years itch-nya Fischer —yang lingkup penelitiannya mencakup 62 jenis kultur ini, lebih menggunakan pendekatan sosial.
Fischer, yang juga penulis buku ”Anatomy of Love”, menemukan betapa kasus perceraian mencapai puncaknya ketika usia perkawinan mencapai usia empat tahun. Kalau-pun masa empat tahun itu terlalui, katanya, kemungkinan itu berkat hadirnya anak kedua. Kondisi ini membuat perkawinan mereka bisa bertahan hingga empat tahun lebih.
Nah, kalau main hitung-hitungan, rasanya seru juga. Misalnya, masa pacaran telah dilalui tiga tahun, berarti kesempatan untuk bisa mempertahankan gelora cinta hanya ada di tahun pertama perkawinan. Lalu apa yang terjadi ketika masa perkawinan menginjak tahun kedua, ketiga dan seterusnya? Cuma ada sisa-sisa, atau bahkan punah sama sekali. Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami masa pacaran lebih dari enam tahun?
Menurut pandangan Diane, dalam hubungan suami istri atau pacaran, selain cinta, ada hubungan lain yang sifatnya friendship, pertemanan. Kalau setelah beberapa waktu cinta itu menipis —mungkin karena tersisihkan hal-hal lain, misalnya karena rutinitas yang itu-itu juga, lalu segalanya jadi terasa membosankan.***

Wabah Penyakit Bakteri pada Ikan Mas

Oleh Khairuman A. Md.
(Kasie Informasi Teknologi pada Balai Pengembangan Budidaya Air Tawar (BPBAT) Sukamandi Subang)
Dimuat di Pikiran Rakyat, 21 Juli 2002

AKHIR-AKHIR ini para petani ikan mas —khususnya di Jawa Barat, mengalami kerugian yang cukup besar akibat ikan mas yang mereka pelihara terserang penyakit. Konon, yang pertama kali terserang penyakit adalah ikan mas yang dipelihara di kolam air deras di daerah Cijambe Kab. Subang.
Diperkirakan hampir 250 ton ikan mas di daerah tersebut mengalami kematian. HU ”Pikiran Rakyat” hampir setiap minggu memuat berita tentang kematian ikan antara lain ”Wabah Aeromonas Musnahkan 63,3 Ton Ikan di Kab. Bandung (”PR”, 14/6); ”Aeromonas Bunuh 820 Ton Ikan di Kab. Kuningan (”PR”, 29/6); ”Jateng/DIY Tolak Ikan dari Jabar dan Jatim (”PR”, 29/6); dan ”Bakteri Aeromonas Berasal dari Subang Virus Ikan Air Tawar Masih Terus Mengancam (”PR”, 2/7).
Upaya-upaya pemerintah —dalam hal ini Dinas Perikanan setempat, tentu telah melakukan tindakan baik pencegahan terhadap ikan-ikan yang belum terserang penyakit atau tindakan pengobatan bila ikan-ikan tersebut telah terserang penyakit. Berhasil atau tidaknya usaha tersebut tentu dipengaruhi banyak faktor, seperti identifikasi terhadap penyakit, jenis dan dosis obat yang digunakan atau tingkat serangan penyakit itu sendiri terhadap ikan.

Kenapa ikan sakit?
Penyakit ikan umumnya ada di mana-mana, tetapi penyakit tersebut belum tentu menyebabkan ikan menderita sakit. Karena ikan memiliki daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit selama berada pada kondisi lingkungan yang baik. Ikan sakit disebabkan kondisi tubuhnya yang lemah antara lain karena cara perawatan yang buruk, pemberian pakan yang tidak mencukupi atau kualitas pakan yang kurang baik. Selain itu dapat pula disebabkan kualitas media hidupnya sering terjadi perubahan seperti sifat-sifat fisika dan kimia air (kandungan karbondioksida, oksigen atau gas-gas beracun, atau terjadinya fluktuasi suhu yang mendadak). Sehingga ikan akan mengalami stres, kondisi tubuh menjadi lemah dan penyakit pun dengan mudah menyerang ikan-ikan yang dipelihara.
Untuk itu —beberapa waktu lalu, Balai Karantina Ikan Soekarno Hatta Jakarta telah menurunkan satu tim ke Kabupaten Subang guna memantau jenis penyakit yang menyerang ikan mas yang dipelihara petani di daerah tersebut. Laporan pemantauan hama dan penyakit ikan (Cyprinus carpio) di Kabupaten Subang oleh tim Balai Karantina Ikan Soekarno Hatta, kiranya dapat dijadikan pedoman oleh semua pihak guna mencegah agar wabah penyakit ikan tidak menyebar ke seluruh daerah di Jawa Barat.
Menurut hasil pemeriksaan bahwa penyakit yang menyerang ikan mas di daerah Subang adalah penyakit infeksi bakteri pada insang atau yang lebih dikenal dengan istilah ”Bacterial Gill Disease” (BGD). Adapun jenis patogen yang menginfeksi adalah jenis bakteri dari famili Cytophagaceae yaitu Flaxobaterfum sp dan Flexibacter columnaris. Selain kedua jenis bakteri tersebut dapat diidentifikasi bakteri Aeromonas hydrophilla dan Aeromonas carviae yang bersifat sekunder. Adapun gejala ikan mas yang terserang penyakit tersebut di antaranya terdapat bercak kemerahan pada tubuh ikan di permukaan bagian bawah dan atas, kulit bagian luar terkelupas dan berlanjut menjadi borok, insang terlihat mengalami nekrosis dan kongesti, dan lamela insang saling melekat satu dengan yang lainnya.

Upaya pencegahan
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guna mencegah agar ikan-ikan mas tidak terserang penyakit seperti tersebut di atas yaitu sebagai berikut:
1. Cegah kepadatan ikan yang berlebihan, karena akan mengakibatkan penumpukan hasil metabolisme yang dapat mempengaruhi terhadap kualitas air media.
2. Pemakaian air yang berulang senantiasa harus disaring atau difilter sebelum masuk ke kolam yang lain.
3. Isolasi terhadap ikan-ikan, artinya ikan-ikan di wilayah yang terserang tidak dibawa ke tempat lain.
4. Lakukan pengeringan kolam dan pengedukan lumpur sisa-sisa metabolisme.
5. Penghentian siklus pemeliharaan untuk beberapa waktu (sementara).
6. Sanitasi kolam serta menjaga kualitas air serta pengukuran kualitas air secara teratur.

Upaya pengobatan
Bila ikan-ikan yang dipelihara telah terserang oleh penyakit tersebut di atas, maka tindakan pengobatan yang dapat dilakukan adalah:
1. Alkyl Benzaikonium Chioride (Roccal) 2 mg/ltr perendaman selama 1 jam. Hyamine 3500 sebanyak 2 mg/ltr selama 1 jam.
2. Ethyl mercury phosphate (Lignasan X) atau tinisan 1-2 mg/ltr selama 1 jam.
3. Pemberian antibiotik antara lain oxytetracyclin melalui perendaman, oral atau dengan cara disuntik terutama bagi ikan-ikan yang berukuran besar.
4. Perendaman dengan oxytetracyclin dengan dosis 10 mg/ltr selama 3 hari diulang dua kali melalui pakan dengan dosis 50 mg kg pakan selama 3 hari.

Tindakan pencegahan dan pengobatan akan efektif bila dilakukan secara serius, teliti, cermat terutama oleh para pembudidaya, sehingga diharapkan wabah penyakit tidak akan menyebar ke seluruh daerah di Jawa Barat. Semoga!***

Kiat Memilih Ikan Segar & Produk Olahannya

OLEH JUNIANTO
(Penulis adalah anggota Pusat Kajian Teknologi Hasil Perikanan-Jurusan Perikanan Fak. Pertanian Unpad Bandung)
Dimuat di Pikiran Rakyat, 21 Juli 2002

BANDUNG sebagai ibu kota provinsi merupakan salah satu pusat pemasaran lokal ikan segar dan hasil perikanan serta produk olahannya di Jawa Barat. Hal ini dikarenakan jumlah penduduk dan daya beli masyarakatnya yang relatif tinggi. Ikan sebagai bahan pangan sumber protein hewani sangat diperlukan karena mengandung asam-asam amino esensial yang penting untuk pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh kita.
Ikan —sebagaimana produk pertanian lainnya, bersifat mudah busuk. Jika penanganan kurang baik selama proses pengangkutan dan pemasaran, maka dalam jangka waktu 1 hari; akan tercium bau busuk. Penyebab utama pembusukan ikan adalah aktivitas bakteri atau mikroba lainya yang ada dalam daging ikan. Bakteri ini ada sejak ikan mati ditangkap atau terkontaminasi selama proses pemasaran.
Kalau kita perhatikan, proses pemasaran ikan —terutama jenis hasil perikanan laut, untuk sampai ke tangan konsumen akhir atau ibu-ibu rumah tangga, sangatlah panjang. Prosedur pemasaran ikan melalui beberapa tahapan, yaitu proses pelelangan ke pedagang pengumpul kemudian ke grosir, selanjutnya ke pedagang pengecer dan akhirnya ke konsumen. Tahapan tersebut sekurang-kurangnya memerlukan waktu 1 hingga 2 hari. Karena itu penanganan selama proses pemasaran mempunyai peranan penting dalam menjaga atau mempertahankan kualits kesegaran ikan.
Jenis ikan yang dipasarkan dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu ikan atau hasil perikanan dalam keadaan segar dan dalam produk olahannya. Umumnya produk-produk olahan yang sering kita jumpai adalah ikan asin, ikan pindang, ikan asal dan ikan kaleng. Produk ikan olahan ini juga akan cepat rusak atau busuk yang dapat membahayakan konsumen apabila tidak ditangani dengan baik selama proses pemasarannya.
Karena itu, peran produsen di pihak pelaku penanganan selama proses pemasaran sangatlah menentukan, terutama pada penanganan ikan segar yang dipajang (display) di pasar-pasar pengecer atau dibawa berkeliling dengan sepeda oleh tukang sayur. Namun petunjuk teknis yang harus ditaati oleh para pedagang belum ada, sehingga tak jarang kita menyaksikan pedagang keliling mencuci atau membasahi ikan dengan air yang kurang bersih. Ikan yang dipajangkan sering tidak diberi es, dipajang begitu saja sehingga pasukan lalat bebas merubungnya.
Dalam situasi yang demikian —untuk mendapatkan ikan segar atau produk olahannya yang berkualitas baik, terletak pada kemampuan kita sendiri sebagai konsumen dalam memilih bahan pangan tersebut. Sebab itu sangatlah penting bagi kita sebagai konsumen untuk mengetahui ciri-ciri ikan segar dan produk olahannya yang masih baik untuk dikonsumsi sehingga tidak membahayakan keamanan dan kesehatan tubuh kita. Berikut ini beberapa uraian tentang ciri-ciri kualitas ikan dan produk olahannya:

1. Ikan segar:
Penilaian kualitas kesegaran ikan dapat dilakukan dengan berbagai macam cara yaitu cara kimia, fisik, mikrobiologi dan organoleptik. Cara organoleptik merupakan cara yang paling mudah untuk dilakukan. Ciri organoleptik ikan segar yang berkualitas baik antara lain: Keadaan bola mata cembung dan cemerlang serta korneanya masih bening; Warna insang merah tua dan cemerlang; Terdapat lender alami menutupi permukaan ikan yang baunya khas menurut jenis ikan, rupa lender bening dan cemerlang; Warna kulit belum pudar atau cemerlang; Sisik melekat kuat dan mengkilat; Dagingnya kenyal dan jika ditekan dengan jari tidak berbekas.
Adapun ciri dari kualitas ikan yang jelek atau mungkin tidak layak untuk dikonsumsi adalah: Warna insang pucat dan berbau busuk; Lender yang menutupi tubuh ikan hilang atau mengering atau mungkin pula lender menjadi pekat dan lengket; Warna kulit menjadi pudar, jika pengesan kurang baik kulit ikan akan mengering dan retak; Sisik-sisiknya banyak yang lepas; Keadaan daging lunak dan kehilangan elastisitasnya yaitu jika ditekan dengan jari maka bekas tekanan sulit hilang.
Pada beberapa ikan bandeng tercium bau lumpur. Bau lumpur ini disebabkan salinitas badan perairan tempat bandeng itu dipelihara adalah rendah dan makanan yang tersedia tercampur dengan lumpur. Umum-nya ikan bandeng yang berbau lumpur memiliki bagian punggung yang agak putih, sedangkan yang tidak berbau lumpur bagian punggungnya gelap.

2. Udang
Ciri-ciri organopleptik udang segar yang berkualitas baik adalah bentuk tubuhnya masih utuh dan ikatan antar ruas kokoh; bau sangat segar dan spesifik menurut jenisnya; warna bercahaya dan bening serta teksturnya elastis atau lentur. Adapun udang segar yang kualitasnya jelek dan disarankan untuk tidak dipilih adalah yang memiliki ciri: warnanya agak kemerah-merahan; terdapat noda-noda hitam dan ruas-ruas badannya banyak yang lepas; timbul bau amoniak dan dagingnya sangat lunak.

3. Lobster
Lobster umumnya dijual dalam keadaan hidup, sehingga jika kita hendak membelinya harus yakin bahwa lobster tersebut masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan seperti alat penjepitnya masih bergerak, dan warna hijau kebiruan. Untuk lobster yang diperjualbelikan dalam keadaan yang sudah dimasak, maka ciri-ciri yang berkualitAs baik adalah warnanya harus merah cemerlang, ekor membengkok ikut ke bawah tubuh dan dagingnya padat. Ekor jika ditarik dan kemudian dilepas maka ia akan kembali kekedudukan semula; seandainya tidak demikian berarti lobster tidak dalam keadaan hidup saat akan dimasak. Adapun lobster yang diperjualbelikan dalam keadaan masak yang tidak mempunyai warna merah cemerlang serta ekor tidak kembali kekedudukan semula jika ditarik, maka sebaiknya tidak dibeli untuk dikonsumsi.

4. Cumi-cumi
Cumi-cumi yang sebaiknya dibeli untuk dikonsumsi adalah cumi-cumi yang mempunyai ciri warna kemerah-merahan di sekitar mata dan sebagian dagingnya ada yang lembek.

5. Kepiting
Sebagaimana halnya lobster, kepiting juga umumnya diperjualbelikan dalam keadaan yang masih hidup. Karena itu dalam memilih, yakinlah bahwa kepiting tersebut masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Daging kepiting yang masih hidup berwarna putih dan mengandung butiran lemak berwarna kuning.
Sedangkan daging kepiting yang telah mati tampak kering, tidak terdapat lagi cairan dalam kulit, dan warna dagingnya berubah kebiru-biruan serta mengeluarkan bau yang tidak menyenangkan.
Umumnya konsumen ingin mendapatkan kepiting betina yang bertelur. Untuk itu perlu mengetahui tanda-tanda kepiting betina, yaitu bagian ekornya yang agak lebar dan tumpul.

6. Ikan asin/kering
Ikan asin merupakan produk hasil pengeringan ikan dengan proses penambahan garam, sedangkan ikan kering tanpa penambahan garam. Dalam membeli produk ini hendaknya kita memilih produk dengan ciri-ciri: ikan masih utuh, permukaannya bersih tidak ada kotoran yang menempel, kering, tidak berbau busuk dan warna tampak seperti warna ikan aslinya, serta tidak terdapat jamur atau ulat (belatung) dalam daging ikan. Warna ikan asin yang kemerah-merahan atu coklat kehitaman telah menandakan adanya jamur yang tumbuh pada ikan asin.

7. Ikan pindang
Berdasarkan proses pembuatannya, dikenal dua jenis pindang yaitu pindang garam dan pindang cue (pindang yang diproses dengan cara merebus ikan dengan air garam). Untuk memilih ikan pindang ini tentu harus sesuai dengan jenisnya. Rupa produk pindang garam umumnya kurang bersih dan kurang bercahaya, karena permukaannya terdapat endapan-endapan lemak dan kotoran hasil rebusa. Bentuk fisik ikan kadang-kadang tidak utuh dan bengkok. Rasanya lebih asin dan aromanya hampir mendekati aroma ikan kaleng. Adapun teksturnya kompak dan padat.
Sedangkan pindang cue umumnya memiliki rupa yang lebih bercahaya dan bersih. Warna spesifik ikannya masih kelihatan. Bentuk fisik ikan lebih baik yaitu utuh dan tidak retak. Rasanya tidak begitu asin dan aromanya hampir seperti ikan rebus biasa. Teksturnya agak longgar dan lembek.
Ikan pindang yang telah rusak ditandai dengan adanya lender karena aktivitas bakteri dan pertumbuhan jamur. Lender terutama terjadi pada pindang yang terlalu cepat proses pemasakannya. Sedangkan pertumbuhan jamur biasanya terjadi selama pemasaran dan terutama dialami oleh pindang yang terlalu lama dimasak.

8. Ikan Asap
Dalam memilih ikan asap, hendaknya dipilih yang dagingnya kenyal, permukaan mengkilap, dan masih berbau khas asap serta bersih yaitu tidak terdapat noda-noda hitam, dan kotoran lainnya.

9. Ikan kaleng
Dalam memilih pertamakali, lihatlah kondisi kalengnya. Apabila terjadi penggelembungan pada salah satu atau kedua sisi kaleng, maka produk tersebut sudah rusak. Penggelembungan ini terjadi akibat adanya gas-gas yang terbentuk dalam kaleng. Selanjutnya lihatlah masa kadaluwarsanya. Semakin lama batas kadaluwarsanya maka semakin baik untuk dipilih.
Namun demikian kedua cara tersebut hanya mengidentifikasi permukaan luarnya saja. Meskipun permukaan luar kaleng baik, belum tentu ikan yang ada di dalam kaleng masih baik.
Tanda-tanda terjadinya kerusakan ikan yang ada dalam kaleng adalah adanya warna hitam (blackening) pada daging ikan.
Tanda kerusakan yang lain adalah daging ikan berlubang-lubang seperti sarang laba-laba. Kerusakan ini akibat mutu awal daging ikan yang dikalengkan rendah (jelek).
Demikianlah sedikit bekal pengetahuan dalam memilih untuk membeli ikan dan hasil perikanan serta produk olahannya. Keselamatan dan kesehatan tubuh kita dalam meng-konsumsi bahan pangan terletak pada diri kita sendiri bukan pada orang lain.***