Kliping Pengetahuan Umum

Weblog berisi kliping artikel pengetahuan umum yang bermanfaat. Seperti Kesehatan, Makanan, Pendidikan Anak, Pengobatan, Psikologi Populer, Hobi dan lain-lain.

Sunday, July 28, 2002

Seputar Masalah Resistensi Antibiotika

Oleh Tonny Sumarsono, Apoteker
Dimuat di Pikiran Rakyat, 28 Juli 2002

SEBAGIAN besar masyarakat kita dewasa ini sudah mengenal antibiotika, setidaknya pernah mendengar nama jenis obat seperti itu, baik dari teman, tetangga atau dari dokternya sendiri maupun dari media cetak atau dari televisi dan radio. Memang antibiotika sepertinya begitu ”akrab” di telinga dan memang dalam kenyataannyapun pemakaian antibiotika begitu banyak dari berbagai jenis.
Keampuhan antibiotika dalam menumpas berbagai penyakit infeksi hingga kini masih tetap paling unggul. Bisa diibaratkan, antibiotika itu adalah ”obat dewa” untuk memberantas infeksi yang ternyata masih saja menjadi momok bagi masyarakat terutamam di negara-negara dunia ketiga. Menurut sebuah survei, bisnis farmasi di dunia ini, 40%-nya disedot untuk pemakaian macam-macam antibiotika. Jadi pangsa pasarnya begitu besar dibandingkan dengan jenis-jenis obat yang lainnya. Sejak Flemming menemukan Penisilin pada tahun 1928 lalu, maka berbagai penemuan baru berbagai antibiotika seolah meluncur bagaikan meteor. Beberapa generasi baru antibiotika terus ditemukan oleh para ahli farmasi dan kedokteran, sejalan dengan makin bertambahnya strain-strain baru bakteri yang mesti dibasmi.
Antibiotika yang baru atau disebut juga sebagai antimikroba, adalah zat yang dihasilkan oleh suatu mikroba (terutama fungi/jamur) yang sifatnya bisa membasni jenis mikroba lainnya. Zat ini bisa diperolaeh secara alamiah, kecuali ada beberapa jenis yang dibuat semi sintesis dan sintetis.
Tetapi dengan antibiotika adalah sebuah pengobatan yang cukup kompleks, karena melibatkan tiga faktor penting yaitu mikrobanya sendiri sebagai agen aptogen (pembawa sakit), manusia yang diserangnya sebagai hospes dan tentunya jenis antibiotika sendiri yang dipakai untuk membunuh agen patogen itu. Ketiga faktor itu saling berinteraksi sempurna dan menentukan perjalanan atau kesembuhan sebuah penyakit yang dalam hal ini tentunya penyakit infeksi.
Daya kerja antibiotika ada yang bersifat bakterisidal atau membunuh bakteri dan ada pula yang bersifat bakteriostatik atau yang hanya menghambat pertumbuhan bakteri. Untuk jenis yang kedua itu, maka upaya penyingkiran dan pemusnahan bakterinya masih tergantung kepada daya tahan tubuh seseorang atau hospesnya.
Lantas apakah bila seseorang yang diberikan terapi dengan antibiotika untuk penyakit infeksi yang menyerangnya, bisa langsung sembuh? Jawabnya bisa ya dan juga bisa tidak. Hal ini tergantung kepada ketepatan diagnosis doter untuk jenis antibiotika yang diberikannya apakah cocok atau tidak dengan jenis mikroba yang menyerangnya.
Disamping itu, faktor lainnya adalah dosis dan lamanya pengobatan juga sangat berpengaruh kepada kesembuhan seorang pasien. Namun sering pula terjadi, meskipun semua aspek-aspek itu sudah tepat, tapi terkadang penyakitnya tak kunjung sembuh juga. Jika hal ini terjadi, kemungkinan telah terjadi adanya resistensi.
Resistensi pada suatu mikroba adalah suatu keadaan dimana kehidupan mikroba itu sama sekali tidak terganggu oleh kehadiran antibiotika. Sifat ini merupakan suatu mekanisme pertahanan tubuh dari suatu mahluk hidup.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), resistensi antibiotika ini dari hari ke hari semakin menajam saja. Mungkin saja mikroba itu sudah demikian ”mengenal” dengan kekuatan antibiotika yang akan menyerangnya, sehingga mereka bisa ”berkelit” untuk mempertahankan diri. Laporan ini lebih jauh menyebutkan, resistensi itu semakin bermakna kelihatan pada kasus-kasus penyakit Tuberkulosis (TB Paru) yang memang terkenal terapinya cukup lama dan banyak sekali variasi obat-obatnya.
Diperkirakan tingkat resistensi ini meningkat hampir 50% dibandingkan tahun 1990 lalu, dan yang cukup mengherankan terjadi di negara-negara yang sudah maju seperti Denmark, Italia dan Jerman. Bahkan angka yang lebih parah lagi terjadi di India, Rusia, Selandia Baru, Iran, Cina dan beberapa negara di Asia Selatan dan Tenggara yang mencapai 65% lebih.
Kegagalan terapi TB paru yang memicu terjadinya resistensi disinyalir karena ketidakpatuhan pasien dalam melaksanakan proses terapinya yang cukup lama, biasanya minimal tiga bulan terus menerus harus mengonsumsi obat dalam jumlah yang cukup banyak. Biasanya golongan Rifampisin, Ethambutol, Isoniazide dan Pyrazinamide adalah kombinasi obat yang diberikan untuk para penderita TB paru.
**
KECEPATAN resistensi yang akhir-akhir ini semakin pesat, sering kali disebabkan pula oleh penggunaan yang berlebihan atau dosis yang kurang adekuat bahkan bisa pula karena penyalahgunaan antibiotika.
Dr. Tupasi, seorang konsultan penyakit infeksi dari Yayasan Penyakit Tropis di Pusat Medis Makati, Filipina menjelaskan bahwa penggunaan antibiotika yang serampangan dan tidak optimal disertai dengan keadaan malnutrisi dari pasiennya, menyebabkan resistensi semakin cepat berkembang dan kini sudah merupakan problem global yang cukup serius.
Antibiotika B-laktam adalah contoh antibiotika yang banyak diresepkan di dunia, kini ternyata paling banyak menemui problem resistensi, khususnya untuk bakteri golongan Gram Negatif seperti Pseudomonas aeruginosa yang mencapai angka 60%, K. pneumoniae sekira 30% dan E. Coli yang mencapai 35%.
Sefalosporin pun yang merupakan antibiotika B-Laktam generasi keempat, juga terbukti bisa menimbulkan kegawatan resensi baru, karena diperantarai oleh plasmid, yang merupakan bagian luar kromoson yang mampu bereflikasi menghasilkan B-laktamase dengan spektrum luas.
Enzim yang canggih ini mampu merangsang antibiotika B-Laktam generasi lama ataupun baru serta mampu memindahkan gen resisten kepada spesies lainnya.
Resistensi lainnya dilaporkan juga untuk penyakit kelamin jenis gonore (GO) yang semakin resisten terhadap antibiotika jenis ampisilin. Di Spanyol angka resistensi untuk penyakit ini terhadap impisilin mencapai 35%, di Mesir 30%, Taiwan 40% dan belahan Afrika hitam sekitar 65%.
Dari India juga dilaporkan angka resistensi untuk golongan Kloramphenikol dan Kotrimazole, dua jenis antibiotika pilihan untuk penyakit tipus juga sudah mengalami banyak kasus resistensi, meskipun angkanya tidak disebutkan dengan jelas.
Perkembangan lain lagi adalah munculnya resistensi ganda (multiple resistence), akibat transfer sambung menyambung dari plasmid. Resistensi ganda itu dapat terjadi terhadap antibiotika lain yang strukturnya sama sekali berbeda dari antibiotika B-Laktam.
”Kita akan lebih sulit mengobati mereka yang sudah terkena resistensi suatu antibiotika, dibandingkan dengan mereka yang baru diterapi, meskipun penyakit infeksinya lebih berat,” kata Dr. Donald Alpine, seorang konsultan anak dari Wyoming University, USA.
Jadi menjalani terapi dengan antibiotika yang tidak tuntas, justru akan memukul balik si penderita, karena bakteri tersebut akan membentuk mekanisme pertahanan diri, sehingga jika diberikan jenis antibiotika yang sama pada kesempatan lainnya, tidak akan mempan lagi.
Sebuah konferensi ilmiah yang diadakan oleh Public Health Laboratory Service (PHLS) di Warwick tahun lalu menyerukan kepada dunia kesehatan, agar masalah resistensi antibiotika ini mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari semua pihak, karena ternyata penyakit-penyakit infeksi yang ditimbulkan lewat udara bisa menewaskan sekira dua juta orang dalam periode empat tahun terakhir ini dan hal ini banyak terkait pula dengan masalah resistensi antibiotika yang tidak sepenuhnya ”dimengerti” oleh beberapa negara terutama di benua hitam Afrika yang masih sangat jelek infrastruktur kesehatannya.
Imbauan lainnya juga ditujukan kepada para dokter/klinisi agar tidak terlalu gampang memberikan antibiotika dengan tujuan agar pasien itu bisa ”belajar” membuat mekanisme pertahanan tubuhnya sendiri dan menjadi lebih kebal terhadap serangan berbagai penyakit.
Beberapa waktu lalu WHO juga telah mengeluarkan Pedoman Penggunaan Antibiotika di rumah sakit dan Primary Health Setting yang diyakini merupakan salah satu strategi yang baik untuk menjamin penggunaan antibiotika secara lebih bijaksana.
Resistensi hanya dapat dicegah dengan pemakaian antibiotika yang benar dari para klinisi dan tentunya kepatuhan si pasien itu sendiri yang mesti menghabiskan seluruh antibiotika yang diberikan dokter, meskipun penyakit sudah membaik.
Masalah resistensi adalah masalah kita bersama, dan mengingat masyarakat kita yang heterogen, jadi hendaknya resistensi antibiotika ini menjadi perhatian para tenaga medis dalam upaya kesejahteraan generasi penerus bangsa ini.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home