Kliping Pengetahuan Umum

Weblog berisi kliping artikel pengetahuan umum yang bermanfaat. Seperti Kesehatan, Makanan, Pendidikan Anak, Pengobatan, Psikologi Populer, Hobi dan lain-lain.

Sunday, July 21, 2002

Teori PEA: Daya Tahan Cinta Hanya Empat Tahun!

Oleh Rinrin R. Khaltarina
(Alumni FISIP dan Fak Psikologi Unpad, tengah menempuh pendidikan S2 di UGM)
Dimuat di Pikiran Rakyat, 21 Juli 2002

CINTA itu tidak abadi! Nah, itulah kabar mutakhir tentang cinta. Kesimpulan yang amat ”berani” itu berhasil ditemukan oleh seorang antropolog asal AS, Helen Fischer, setelah melakukan penelitian selama bertahun-tahun.
Tapi, mungkinkah cinta bisa diutak-atik seanalitis itu, bahkan sempat-sempatnya dibahas dari segi kimia dan sosial segala, padahal bagi banyak orang, cinta identik dengan sebuah benda misterius? Cinta, meskipun bisa dirasakan, konon sangat tidak mudah dimengerti. Ia bisa meluapkan kebahagiaan sekaligus kesengsaraan. Bisa menciptakan kebebasan, namun bisa juga membuat manusia bagaikan seorang tawanan.
Cinta jugalah yang menyemburkan segudang kreativitas bagi sebagian penyair besar seperti Kahlil Gibran dalam menciptakan puisi, maupun komposer sekaliber Beet-hoven. Tapi, di sinilah membingungkannya, terkadang cinta juga bisa membuat orang kehilangan semangat sekaligus mengalami kehancuran kreativitas. Jadi, kalau memang bisa diteliti secara ilmiah, cinta itu sebetulnya apa?
Dalam hubungan antar jenis kelamin —terutama yang tengah dilanda asmara, fenomena cinta sebenarnya tidak terlalu sulit untuk dirasakan. Nah, ketika mata bertemu pandang yang berlanjut pada persentuhan tangan, biasanya orang akan merasakan gejala yang sama: darah mengalir lebih cepat, semburat merah muncul di pipi, keringat dingin membasahi telapak tangan, bahkan menghela napas pun jadi terasa berat. Dalam situasi seperti inilah hati bagaikan bergolak, disesaki gelora cinta.
Menurut Helen Fischer —seorang ”peneliti cinta” pada Universitas Boston, AS, reaksi romantis semacam itu timbul berkat kerja sejumlah hormon yang ada dalam tubuh, khususnya hormon yang diproduksi otak. Gelora cinta manusia yang meledak-ledak tak ubahnya reaksi kimia. Celakanya, senyawa antar hormon ini sangat rentan. Dan, berdasarkan teori four years itch yang dipublikasikannya, daya tahan gelora cinta itu hanya mencapai empat tahun saja. Setelah itu, punah tak berbekas. Sebagaimana yang terjadi pada sebuah reaksi kimia, wujudnya tak akan pernah kembali seperti semula.
Sesungguhnya pula, perasaan yang menghanyutkan dalam masa jatuh cinta tadi bisa dianalisis secara kimiawi. Jadi, prosesnya dimulai saat mata saling bertemu. Tangan yang bersentuhan bagaikan dialiri tegangan listrik. Fenomena ini sudah pasti karena ulah hormon tertentu yang ada di otak, mengalir ke seluruh saraf hingga ke pembuluh darah yang terkecil sekalipun. Inilah yang membuat wajah memerah, dan timbul perasaan ”melayang”. Aliran darah yang demikian cepat membuat bernafas pun menjadi berat.
Ngomong-ngomong, bagaimana hormon dalam otak bekerja, ketika seseorang tengah jatuh cinta? Bisa dijelaskan sebagai berikut. Ketika kontak mata sedang berlangsung, tertanam suatu ‘kesan’. Inilah fase pertama. Otak bekerja bagaikan komputer yang menyajikan sejumlah data, dan mencocokkannya dengan sejumlah data yang pernah terekam sebelumnya. Ia mencari apa yang membuat pesona itu muncul. Kalau sudah begini, bau yang ditimbulkan oleh lawan jenis pun bisa menjadi pemicu timbulnya rasa romantis.
Fase kedua, yiatu munculnya hormon phenylethylamine (PEA) yang diproduksi otak. Inilah sebabnya ketika terkesan oleh seseorang, secara otomatis senyum pun dilontarkan. Spontan, pabrik PEA pun aktif bekerja ketika ”peluit” mulai dibunyikan. Hormon dopamine dan norepinephrine yang juga terdapat dalam saraf manusia, turut mendampingi. Hormon-hormon inilah yang menjadi pemicu timbulya gelora cinta. Setelah dua tiga tahun, efektivitas hormon-hormon ini mulai berkurang.
Fase ketiga yaitu ketika gelora cinta sudah reda. Yang tersisa hanyalah kasih sayang. Hormon endorphins, senyawa kimia yang identik dengan morfin, mengalir ke otak. Sebagaimana efek yang ditimbulkan narkotik, saat inilah tubuh merasa nyaman, damai, dan tenang.
Ada hormon lain yang akhir-akhir ini dihubungkan dengan cinta. Diproduksi oleh otak, hormon ini membuat syaraf menjadi sensitif. Saat itulah tubuh akan didorong untuk merasakan sensasi cinta. Hor-mon ini pulalah yang diduga bisa mendorong terjadinya proses orgasme ketika bercinta.
Teori tentang cinta pernah populer sekitar 5 hingga 6 tahun yang lalu. Tepatnya, ketika pendekatan ilmu faal yang membedah tubuh manusia menjadi populer. Selanjutnya, teori ini kian berkembang dan mulai dihubung-hubungkan dengan bidang ilmu lainnya. Bela-kangan, ada juga teori cinta dengan pendekatan bioneurologi yang melihat, membandingkan, dan mengamati struktur otak orang gila misalnya, atau psiko-fisiologi yang mempelajari kaitan antara perilaku manusia dan pengaruh hormon pada tubuhnya. Cinta sebenarya sama dengan emosi. Kalau emosi seringkali ditentukan oleh sejumlah hormon (terutama dalam siklus menstruasi), maka hal yang sama juga berlaku dalam proses jatuh cinta. Terutama ketika terjadi cinta pada pandangan pertama, ada getaran dalam tubuh. Tapi, apakah iya, gelora cinta semata-mata ditentukan oleh hormon dalam tubuh?
Diane Lie —seorang psikolog sekaligus peneliti ulet pada sebuah universitas di Beijing membeberkan, meskipun urusan cinta bisa dijelaskan secara kimiawi, namun kecamuk cinta tidak semata-mata hanya ditentukan oleh aktivitas hormon, dan manusia tidak berdaya mengatasinya. Juga tidak selalu berarti bila kadar hormon berkurang, berarti getarannya pun berkurang.
Memang, pemacu semburan cinta (PEA) tadi, memiliki pengaruh kerja yang tidak tahan lama. Hormon yang secara ilmiah memiliki kesamaan dengan amfetamin ini, hanya efektif bekerja selama 2-3 tahun saja. Lama kelamaan, tubuh pun bagaikan imun, ‘kebal’ terhadap si pemicu gelora.
Akan tetapi, sekali lagi, masih menurut Diane, proses jatuh cinta itu tidak semata-mata hanya dipengaruhi hormon dengan reaksi kimiawinya. Apalagi dalam proses orang pacaran hingga menikah, banyak faktor sosial lainnya yang menentukan. Contohnya proses jatuh cinta versi tresno jalaran soko kulino (datangnya cinta karena pertemuan yang berulang-ulang). Demikian pula ketika kita marah dan ingin membentak orang lain, hormon memang punya pengaruh khusus, namun tetap ada faktor lain yang ikut menentukan.
Manusia merupakan makhluk yang paling kompleks. Jika proses reaksi kimia terjadi pada hewan, barulah teori rendahnya daya tahan PEA ini bisa dipercaya. Jadi, teori Helen Fiscer yang disebut four years itch juga bisa dimentahkan.
Pendeknya, teori PEA dilandaskan pada pendekatan ilmu eksakta, sedangkan teori four years itch-nya Fischer —yang lingkup penelitiannya mencakup 62 jenis kultur ini, lebih menggunakan pendekatan sosial.
Fischer, yang juga penulis buku ”Anatomy of Love”, menemukan betapa kasus perceraian mencapai puncaknya ketika usia perkawinan mencapai usia empat tahun. Kalau-pun masa empat tahun itu terlalui, katanya, kemungkinan itu berkat hadirnya anak kedua. Kondisi ini membuat perkawinan mereka bisa bertahan hingga empat tahun lebih.
Nah, kalau main hitung-hitungan, rasanya seru juga. Misalnya, masa pacaran telah dilalui tiga tahun, berarti kesempatan untuk bisa mempertahankan gelora cinta hanya ada di tahun pertama perkawinan. Lalu apa yang terjadi ketika masa perkawinan menginjak tahun kedua, ketiga dan seterusnya? Cuma ada sisa-sisa, atau bahkan punah sama sekali. Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami masa pacaran lebih dari enam tahun?
Menurut pandangan Diane, dalam hubungan suami istri atau pacaran, selain cinta, ada hubungan lain yang sifatnya friendship, pertemanan. Kalau setelah beberapa waktu cinta itu menipis —mungkin karena tersisihkan hal-hal lain, misalnya karena rutinitas yang itu-itu juga, lalu segalanya jadi terasa membosankan.***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home