Memperlambat Munculnya Rasa Lapar
Oleh Yuga Pramita
(alumnus Akademi Gizi Jakarta)
SAAT berbuka puasa adalah saat bahagia. Saking bahagianya, orang sering lupa bahwa kendali diri masih harus dijaga. Main comot aneka makanan sebetulnya sah-sah saja. Masalahnya, bukankah akan lebih baik jika sekalian bisa ”mencuri” berkah darinya?
Dari Salman bin Amir al-Dhabiy r.a., dari Nabi saw. bersabda, ”Jika salah seorang dari kalian berbuka puasa, maka hendaklah dengan kurma, karena di dalamnya terdapat keberkahan. Kalau tidak mendapatkan kurma, hendaklah dengan air, karena ia menyucikan.” (H.R. Bukhari Muslim).
Perut kosong dan tubuh lemas sangat rindu makanan mudah cerna yang sanggup mengembalikan kekuatan serta bisa mengganti cairan yang hilang akibat aktivitas seharian. Kurma sangat cocok untuk situasi demikian karena gampang dicerna dan berenergi tinggi, terutama kurma yang segar memiliki kadar air yang lumayan. Akan tetapi, andai kurma sulit didapat, melahap buah-buahan segar berasa manis lainnya bisa pula dilakukan.
Meski begitu, tidak dianjurkan menyantapnya dalam jumlah besar. Sebagaimana sifat makanan manis jika jumlahnya berlebihan bisa mengganggu selera makan selanjutnya. Akibatnya, aneka zat gizi yang harusnya juga dikonsumsi bisa terlewatkan. Tentunya ini dapat berdampak negatif pada kesehatan.
Akan tetapi, masalah puasa bukan cuma terletak pada ”berbuka dengan apa?”. Dalam kacamata awam, acap pula dipikirkan upaya apa yang perlu dilakukan agar lapar tidak terasa. Terjadinya ”migrasi” dari rumah ke tempat-tempat pelesiran sebetulnya cuma salah satu cara agar orang bisa melupakan rasa laparnya.
Fruktosa, serat, dan lemak
Dalam hal memakan-makanan, puasa sebetulnya cuma menggeser ”urusan” dari kebiasaan siang menjadi malam. Situasi tersebut akan berakibat pada bergesernya waktu sekresi liur pencernaan dan metabolisme. Menurut Santosa (2000), pergeseran waktu sekresi liur tidak mungkin terjadi bersamaan dengan dimulainya puasa, tetapi memerlukan penyesuaian kurang lebih tiga hari. Selama masa itu, orang bisa jadi merasa rada tersiksa, badan lemas, emosi labil, dan mungkin pula sedikit bingung karena asupan glukosa ke otak agak tersendat.
Meski demikian, hal itu tidak perlu dikhawatirkan. Disebutkan Mohamad (1990), daya tahan manusia terhadap tidak adanya makanan dan minuman yang masuk ke tubuhnya cukup besar. Manusia sehat dapat bertahan hidup selama dua minggu, meskipun tanpa makanan sama sekali, asal tetap minum. Selain itu, jika tidak makan dan minum, dapat bertahan seminggu. Kalau hanya menahan makan dan minum selama empat belas jam saja, pengaruh buruknya terhadap kesehatan praktis tidak ada sama sekali. Fakta sejak dulu menunjukkan, tidak ada orang yang mati atau sakit berat gara-gara puasa Ramadan.
Di sisi lain, situasi tersebut rupanya tidak sama pada setiap orang.
Yang sebelumnya sering berlatih dengan banyak melakukan puasa sunat —terutama pada bulan Sya’ban— akan lebih cepat menyesuaikan diri ketimbang yang tidak. Begitu juga, perkara motivasi sebab ”siksaan” itu juga sangat dipengaruhi hipothalamus dan hipophyse serta subsistem yang disebut sistem limbic —merupakan sentral pengendali emosi. Pada orang yang memunculkan sikap positif, dengan motivasi kuat untuk berpuasa, perasaan itu biasanya akan jauh lebih rendah daripada yang menolaknya.
Paling tidak, dari sisi makanan tiga bahan berikut perlu mendapat perhatian:
Pertama, fruktosa. Ini dinamakan juga levulosa atau gula buah. Rumus kimianya sama dengan glukosa, tetapi strukturnya berbeda. Susunan atomnya bisa nonjok jonjot kecapan lidah sehingga menimbulkan rasa manis yang sip. Gula ini terutama terdapat dalam madu bersama glukosa dalam buah, nektar bunga, dan juga dalam sayuran. Dikatakan Dr. David Conning, dari Biritish Nutrition Foundation, jika segelas air yang mengandung glukosa dapat diserap tubuh selama 20-30 menit, fruktosa baru akan habis terserap dalam tempo 45-60 menit. Dengan perkataan lain, makanan yang banyak mengandung fruktosa akan lebih lama mengundang datangnya lapar daripada makanan yang tidak mengandungnya.
Kedua, serat. Selain berpengaruh pada waktu transit makanan, ”menciptakan” kenyang dan mencegah pembengkakan pada dinding kolon, serat juga dapat menghindarkan konstipasi, diverticulisis, hemoroid, dan varises, serta berbagai penyakit berbahaya lain. Wirakusumah dalam ”Buah dan Sayur untuk Terapi” mencatat juga bahwa fermentasi serat oleh flora usus akan menghasilkan tiga produk akhir, yaitu asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/SCFA), bermacam-macam gas, dan energi.
SCFA seperti asetat, propionat, dan asam butirat memunyai fungsi fisiologis penting. Propionat dan asetat akan langsung menuju hati dan menghasilkan energi, sedangkan butirat akan memasok energi bagi sel-sel sepanjang kolon.
Keunggulan lainnya, bahan ini pun dapat memperlambat kosongnya lambung. Serat akan menjadikan makanan dilepaskan lebih perlahan ke dalam usus kecil karenanya kemunculan lapar akan terasa lebih panjang.
Sebuah studi yang dilakukan Dr. Susanna Holt, dari University of Sydney memperlihatkan, orang yang mengonsumsi makanan berserat —dalam percobaan menggunakan sereal— akan menuntut pemenuhan kembali rasa laparnya 3,5 jam lebih lama dibandingkan orang yang mengonsumsi makanan rendah serat. Selain banyak terdapat dalam buah, serat juga banyak nangkring dalam sayuran, biji-bijian, dan padi-padian.
Sementara itu, unsur yang ketiga adalah lemak. Berbagai bahan seperti daging, ikan, telur, susu, apokat, kacang tanah, dan beberapa jenis sayuran mengandung lemak yang biasanya termakan bersama bahan tersebut. Lemak demikian dikenal sebagai lemak tersembunyi (invisible fat). Di samping itu, lemak yang telah diekstraksi dari ternak atau bahan nabati dan dimurnikan dikenal sebagai lemak minyak biasa atau lemak kasat mata (visible fat).
Dibandingkan dengan zat-zat makanan lain unsur ini mempunyai nilai kalori yang paling tinggi (1 gram lemak menghasilkan energi 9 kkal).
Di samping berperan sebagai sumber dan cadangan energi, sumber asam lemak esensial, pelarut vitamin A, D, E, K, dan penyebab makanan memunyai tekstur khusus, lemak juga dapat menyebabkan waktu pengosongan lambung menjadi lama.
Jadi, kalau ingin memperlambat timbulnya rasa lapar saat puasa, upayakan agar ketiga bahan itu hadir dalam penutup sahur Anda. Dalam contoh praktis, sama dengan beberapa butir kurma plus segelas susu. Akan tetapi ini tidak berarti unsur lain yang juga diperlukan tubuh —utamanya air— boleh dilupakan. Dorongan lapar atau timbulnya keinginan untuk mengonsumsi makanan-makanan tertentu bisa merupakan refleksi tubuh akibat kurangnya asupan unsur-unsur tersebut. Wallahualam. (Sumber: Pikiran Rakyat)***
0 Comments:
Post a Comment
<< Home