Anting, dari Jimat hingga Aksesori
Oleh Edwin
SEKARANG hampir tidak ada wanita yang tidak mengenakan anting di telinganya sebagai ciri khas kaum hawa. Bahkan, sejak kecil pun — untuk menandai bahwa dia wanita atau lelaki — orang bisa melihat apakah dia memakai anting atau tidak .
Anting ini merupakan evolusi dari sumbat telinga yang lazim dikenakan oleh masyarakat tradisional sebagai ornamen telinga. Sumbat telinga yang pernah ditemukan pun terbuat dari berbagai bahan, misalnya di kediaman suku Ainu di Jepang bagian utara ditemukan sumbat telinga dari kain, sedangkan suku Maya di Amerika menggunakan sumbat telinga yang beragam bahannya, seperti giok, bebatuan, tulang, kerang, kayu, dan logam, dengan berbagai ukuran.
Di tanah air pun, masyarakat di Kalimantan mengenakan sumbat telinga yang berdiameter 9,5 cm, sedangkan milik suku Masai di Afrika Timur bergaris tengah 11,4 cm dan berat hingga 1,3 kg.
Namun tidak ada catatan kapan persisnya anting-anting tersebut dibuat. Baru anting yang ditemukan Ur, Mesopotamia lah yang dilabeli anting tertua. Anting dari masa 3500 SM itu berbentuk seperti cincin besar berpinggiran tipis. Diduga bentuk cincin itu merupakan bentuk asal muasal anting.
Selain di Mesir, model yang sama muncul pada masa awal berdirinya bangsa Yunani (2500-1600 SM). Malah bangsa berbudaya seni tinggi itu pula yang memperkenalkan satu bentuk anting yang serupa, yaitu Bulan Sabit. Melimpahnya persediaan emas di masa jayanya, membuat Yunani (600-4750) menghasilkan bentuk anting-anting emas yang beraneka macam, misalnya yang berbentuk perahu lengkap dengan manusia sebagai penumpangnya.
Meski anting-anting gantung dengan panjang mencapai bahu populer pada akhir masa klasik (475-330 SM), tetap saja bentuk model cincin banyak dipilih. India, misalnya, membuat model serupa namun berukuran lebih besar menjelang berakhirnya abad I SM. Tak cuma itu, sebuah lukisan Cina dari abad VII pun menggambarkan beberapa wanita mengenakan anting-anting cincin.
Namun anting sempat tenggelam dari sejarah peradaban manusia, terutama di Eropa kurang lebih abad XVII, XVIII, dan XIX. Penyebabnya, tak lain karena munculnya tren baru seperti munculnya gaya rambut, rambut palsu, dan hiasan kepala yang menutupi kepala yang menutupi telinga. Namun ketika ditemukan anting jepit, juga cara melubangi daun telinga yang tidak sakit — di abad XX — anting-anting berjaya kembali.
Sebagai aksesori, anting memang sering dipandang sebagai perhiasan ekslusif kaum wanita, seperti pada masyarakat di Asia bagian barat termasuk Israel dan Mesir kuno. Namun kenyataannya, di Yunani dan Roma kuno misalnya, pria beranting dapat segera dikenali sebagai pria dari Timur, misalnya Timur Tengah. Malah, kaum pria Eropa pada masa Renaissance (1400-1600) dan Barok (1500-1750) pernah suka mengenakan anting sebelah. Lucunya, di abad XVII dan XVII, mereka menambahnya dengan mutiara. Pemicunya konon Pangeran Inggris Charles I yang selamat dari tiang gantungan dengan mengenakan anting semacam itu.
Selain mutiara, telah sejak lama berbagai batu permata pun digunakan untuk menyemarakkan model anting-anting. Seperti kecubung, pirus, akik, dan jasper yang diikat dengan emas dan perak pada anting-anting kaum wanita Mesir. Lain lagi dengan masyarakat India yang memasukan perunggu dan emas, kemudian memadatinya dengan mutiara dan batu-batuan.
Setelah platina diperkenalkan untuk pengikat batu permata, tahun 1920-an ditemukan cara budi daya permata, terlebih saat makin berkembangnya proses produksi plastik. Hasilnya setelah PD II membanjirlah anting maupun giwang warna-warni yang tak kalah kilauannya dengan batu permata asli.
Anting-anting terus berkembang, dari fungsi sebagai jimat dan ciri khas seseorang menjadi aksesori untuk memenuhi dorongan untuk berhias yang tampaknya berlaku universal. Pemakaiannya memang didominasi kaum hawa, tetapi semakin berkembangnya mode ternyata kaum pria pun sekarang ini banyak yang memakainya walaupun hanya sekadar untuk bergaya. (Sumber: Pikiran Rakyat)***
0 Comments:
Post a Comment
<< Home