Kliping Pengetahuan Umum

Weblog berisi kliping artikel pengetahuan umum yang bermanfaat. Seperti Kesehatan, Makanan, Pendidikan Anak, Pengobatan, Psikologi Populer, Hobi dan lain-lain.

Sunday, September 08, 2002

Mengapa Anak Lebih Suka Meniru?

Oleh Anda Juanda
(Penulis adalah mahasiswa S-II Program Pascasarjana UPI Bandung)
Dimuat di Pikiran Rakyat, 8 September 2002

KITA wajib bersyukur kepada Allah swt. dengan rahmat-Nya yang tersebar di alam raya ini dan tak terhitung jumlahnya termasuk yang ada pada diri kita sebagai makhluk ciptaan-Nya yang berakal, berperasaan, dan memiliki sejumlah kemampuan serta kemuliaan bila dibandingkan makhluk lain seperti binatang.
Sejak manusia dilahirkan, telah aktif merespons segala sesuatu yang terjadi di sekitar lingkungan. Kalau kita perhatikan, begitu bayi dilahirkan ia menangis dan bergerak, ini merupakan indikator bahwa bayi itu mampu merespons keadaan yang berbeda dengan lingkungan sebelumnya (perut ibu).
Respons ini terus berkembang sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan fisiknya, menurut Al-Qusi, ”Umur dua sampai lima tahun ditandai dengan kecenderungan untuk bergerak, bermain, dan melakukan percobaan terhadap segala sesuatu di sekitarnya. Melalui permainan ia mendapat pengalaman, kepandaian, dan menjadi bertambah percaya kepada dirinya. Pada masa ini anak suka meniru, anak suka mengajukan pertanyaan yang kadang-kadang menunjukkan kehausannya kepada pengetahuan dan pengalaman.” (Aselly Ilyas 1998 : 56).
Begitu pun menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat (1976 : 130) ”Bahwa usia 3 dan 4 tahun anak telah memulai menanyakan kepada orang tuanya siapa Tuhan itu.” Keadaan anak pada usia ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya menjurus pada masalah yang abstrak, berarti ia sudah mampu berkhayal (berfantasi) walaupun masih sangat sederhana. Kadang-kadang anak menghayalkan Tuhan seperti orang tuanya sendiri, penolong, penyayang, pelindung, dan sifat-sifat kemuliaan lainnya yang dilakukan orang tua kepadanya.
Pada usia ini dapat dikatakan anak sudah peka terhadap keadaan di sekitarnya, terutama anak-anak yang sehat, gerakannya sangat bergairah yang tercermin pada aktivitas motorik (berbuat). Contohnya gerak-gerik orang tua atau saudara-saudaranya bahkan tetangga sekitarnya selalu menjadi perhatiannya. Orang tua yang harmonis, intim, hidup bersih dan bersahaja, tekun, taat beribadah seperti salat, berdoa, berzikir, membaca kitab suci, dan segudang kebaikan (atau sebaliknya) yang dilakukan oleh orang tua, akan direspons oleh anak dan akan membekas, berpengaruh pada imajinasi dan hatinya lambat laun akan menirunya.
Perlu diingat oleh orang tua bahwa anak-anak bagaikan ”kaset” kosong. Anak mampu merekam keadaan di dalam dan di luar rumah. Di dalam rumah, orang tua mendidik, melatih dengan hati-hati, penuh dengan nilai tuntutan moral (akhlak). Jika di luar tidak menunjang, interaksi luar biasanya lebih kuat pengaruhnya.
Sekalipun anak itu belum mampu mengekspresikannya melalui kata-kata secara spontan, tetapi biasanya berdampak pada pendengaran, penglihatan, dan hati sanubari. Firman Allah swt. (Q.S. Al Muluk : 23) yang artinya, ”Dialah Allah yang menjadikan pendengaran, penglihatan, dan hati.” Dari ketiga hal ini apa yang didengar, dilihat, dan dirasakannya akan membekas pada hatinya terutama yang bersifat motorik. Sikap dan perbuatan orang tua dari mulai bangun tidur hingga larut malam menjadi agenda perhatian anak kita.
Kecakapan motorik yang perlu diterapkan kepada anak-anak kita adalah yang bersifat praktis karena hal ini akan mudah ditiru seperti melibatkan anak bagaimana cara menggosok gigi yang benar, mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, membawa anak ke tempat ibadah, mencium tangan orang tua ketika pergi atau pulang bepergian, dan sebagainya. ”Kebiasaan-kebiasaan dan latihan itulah yang membuat ia cenderung melakukan yang baik dan meninggalkan yang kurang baik (Zakiah Darajat 1979 : 78).
Berkaitan dengan hal ini, Prof. Dr. M.D. Dahlan (2001) dosen teori kepribadian UPI mengatakan., ”Bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan di masa lampau akan berpengaruh terhadap kepribadian di masa yang akan datang.”
Sebenarnya kebiasaan anak suka bergerak dan bermain ini merupakan umpan yang baik (good feed back) bagi orang tua untuk mengarahkan dan mengembangkan bakatnya. Anak laki-laki lebih senang terhadap mainan yang bersifat menantang (challenging) seperti kuda-kudaan, mobil-mobilan, kereta-keretaan, dan kapal-kapalan. Anak perempuan kebanyakan menyukai mainan yang bersifat halus (soft toys) seperti, boneka, bunga, dan rumah-rumahan.
Sikap orang tua tinggal mengarahkan aktivitas motorik yang diragakan oleh oleh anak. Siapa tahu anak laki-laki menjadi teknisi dan anak perempuan menjadi ibu yang baik yang semuanya ini merupakan pemberian pengalaman kecakapan yang apabila terus dilatih, rasa sensitif anak akan tajam terhadap situasi di masa yang akan datang.
**
SURAT Al-Qusi menegaskan, anak suka mengajukan petanyaan-pertanyaan sebagai bukti menunjukkan kehalusannya terhadap pengetahuan dan pengalaman. Sedangkan Prof. Dr. Zakiyah Darajat menjelaskan, adanya rasa ingin tahu pada diri anak tentang Tuhan.
Ini merupakan kesempatan yang baik bagi orang tua untuk menerangkan dengan kata-kata yang sederhana dan contoh-contoh yang konkret tentang kehidupan orang-orang saleh, cerita tentang binatang yang cerdik, dan pandai melalui dongeng-dongeng yang dapat menyentuh perasaan anak. Umpamanya cerita seekor burung ”hud” yang bisa melaporkan kepada Nabi Sulaiman as. tentang adanya Negeri Saba yang rajanya adalah Ratu Bilkis atau para pahlawan di negara kita seperti Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien. Ilustrasi ini dapat membangkitkan nilai moral pejuang laki-laki dan perempuan.
Di samping dijadikan metode pendekatan efektif (intuisi) juga audio visual seperti TV, cerita hayal dapat digunakan pula sebagai alat bantu membangkitkan gerak motorik. Misalnya ketika anak melihat acara anak-anak bernyanyi dan menari di TV.
Menurut Hidayati Yunisir (2002 : 55), ”Para ahli dari hasil pengamatannya, indera penglihatan 75% mampu menyerap dan memahami keadaan.” Keadaan anak-anak yang hidup di kota maupun di pedesaan kalau diperhatikan, setelah melihat acara anak-anak di TV, mereka cenderung ingin menirunya, baik gerakan mulut (oral), tangan, kaki maupun anggota badan yang lainnya.
Keterlambatan atau ketidaktahuan dan bahkan mengacuhkan gerak motorik dan hayali maupun pertanyaan yang diajukan anak kepada orang tuanya,akan mengakibatkan kelambanan daya kreatif.
Ada seorang ibu yang mengeluh dan merasa iri karena tingkah anaknya. Setelah menonton acara anak-anak di TV, anak-anak lain melakukan gerakan yang sama dengan lincah dan gesit tanpa kaku. Rasa kepenasarannya tercetus dengan nada bertanya, mengapa anak saya tidak seperti mereka? Pertanyaan ibu tersebut dijawab oleh Rogers, seorang penganut psikologi humanistik yang penuh harapan dan optimistik tentang manusia.
Ia yakin, dalam diri setiap orang terdapat potensi-potensi untuk menjadi sehat dan tumbuh secara kreatif, kegagalan dalam mewujudkan potensi ini disebabkan oleh pengaruh latihan yang diberikan oleh orang tuanya (A. Supratiknya, 2001 : 125-126).
Nabi Muhammad saw. tidak ketinggalan dengan sabdanya, ”Tiap-tiap anak dilahirkan telah membawa potensi maka kedua orang tuanya yang menjadikan Yahudi, Nasrhani, atau Majusi.” (H.R. Bukhari). Pendapat Rogers dan kekasih Allah swt. ini memberikan petunjuk dominannya peran orang tua dalam memberdayakan potensi sebagai anugerah-Nya, namun kebanyakan manusia belum mengetahuinya.
Secara konvergensi seluruh potensi anak tidak begitu saja tumbuh dan berkembang jasmani dan rohaninya tanpa ada latihan edukatif. Latihan edukatif hanya diberikan kepada manusia atau (anak) karena pikiran, perasaan, kemauan, dan emosional dengan didikan yang tepat oleh orang tuanya akan memberikan pengaruh kepada kepribadiannya.
Proses pemberdayaan nilai-nilai moral dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan sejak anak-anak akan direalisasikan dengan mudah tanpa merasa berat melakukannya.
Konsep pendidikan keluarga (informal), menurut Prof. Dr. Djudju Sudjana (2000), pendidikan yang didahulukan dalam keluarga adalah aspek afektif (sikap), kognitif (kecerdasan), dan keterampilan (skill). Pendidikan aspek afektif merupakan fondasi pendidikan yang esensial. Karena, jika aspek afektifnya kuat maka pesikomotoriknya akan dapat diandalkan terhadap sikap hidup berikutnya.
Karena itu, pemberdayaan aspek afektif harus didahulukan daripada aspek kognitif dan skill di lingkungan keluarga dengan cara memberi contoh kehidupan yang baik menurut tuntutan Illahi Rabbi dengan memohon doa agar anak menjadi anak yang saleh.
Doa untuk mendapatkan anak yang saleh sebagaimana diucapkan oleh Nabi Ibrahim as. (Q.S. Ash-Shofaat : 100). ”Rabbii hablii minashshaalihiin.” Artinya, ”Ya Tuhanku anugerahilah anak yang termasuk golongan orang-orang yang saleh.” Kegagalan pendidikan aspek afektif akan berdampak pada pendidikan berikutnya. ***

0 Comments:

Post a Comment

<< Home