Bisakah Kedewasaan Dibentuk?
Oleh Ir. Meivi Patria Susyanti
Dimuat di Pikiran Rakyat, 1 September 2002
KEDEWASAAN dan kematangan seseorang menentukan banyak hal dengan cukup signifikan pada ucapan, perilaku, dan tindakannya. Kedewasaan bertindak mencerminkan seberapa besar perhatian dan penghormatan anggota keluarga, sahabat, dan masyarakat terhadapnya. Sayangnya, tidak ada parameter tertentu jika kita berbicara tentang kedewasaan. Kedewasaan sulit diraba, tapi dapat dirasakan.
Kedewasaan memang bukan sifat, ia cenderung berbentuk sebagai sikap, atau perilaku tindakan mahluk berwujud manusia. Seorang anak yang baru menginjak usia 17 tahun, misalnya, boleh saja memproklamirkan diri memasuki gerbang kedewasaan, atau merasa sudah dewasa. Hanya saja, kedewasaan tidak dapat dipandang dari satu aspek semata. Karena, jika kita berbicara mengenai kedewasaan, waktu 24 jam atau lebih —juga satu rim kertas, tidak akan cukup untuk memuatnya.
Secara parsial, ada sebagian pemikir atau analis, yang mencoba mendefinisikan kedewasaan secara gamblang dan vulgar. Bahwasannya, kedewasaan dengan dasar kata dewasa, berarti suatu keadaan (kondisi emosi) yang menunjukkan seorang manusia telah mampu membedakan ”kebenaran” dan ”kesalahan”, mampu mengakui kesalahan, ihlas dikritik, serta rela memberikan maaf.
Dengan batasan seperti itu, sepertinya kita sukar (mungkin tidak) menemui seorangpun yang mampu bersikap dewasa. Tetapi tidak berarti di bumi ini, tidak ada manusia yang bersikap dewasa. Artinya, kedewasaan itu bersifat fleksibel, dan sangat relatif. Pada satu sisi, seseorang mungkin sangat dewasa, sehingga terkesan matang, tenang, dan bijak. Sementara di sisi lain, orang tersebut sangat kekanak-kanakkan dan terlihat manja.
Dalam sebuah novel remaja disebutkan, hanya orang yang mampu bersikap dewasa dan berpikir matang, yang akan memenangkan suatu kompetisi. Dan, bukankah hidup ini layaknya sebuah kompetisi? Bukankah dunia ini tidak lebih dari lapangan sepakbola, dengan beragam kesebelasan yang bertanding? Bukankah kehidupan ini —menurut sebagian orang, sangat keras, menantang, dan mengerikan; tapi menurut sebagian orang lagi, kehidupan ini begitu indah, harmoni, dan menyenangkan?
Dengan demikian, kita dapat melihat secara serial, hubungan antara kedewasaan dan pikiran. Bahwa kedewasaan menentukan cara berpikir seseorang, dan buah pikiran merupakan ”cermin” kedewasaan orang tersebut. Sederhananya, berpikir yang baik, menentukan kadar kedewasaan yang terlihat dari implementasi sikap, dan tindakan yang kita lakukan.
**
MENYELAMI makna kedewasaan —yang kemudian berusaha diimplementasikan dalam ”riak” kehidupan, setidaknya ada tiga unsur pembentuk kedewasaan dalam bertindak yang harus kita pahami. Pertama, kebebasan. Maksudnya, seorang yang (merasa) dewasa, ”bebas” dalam melakukan segala tindakan, ”bebas” dalam mengambil keputusan, juga ”bebas” dalam menentukan sikap.
Seseorang yang dewasa akan bebas dalam berpikir, bebas menentukan pendamping, bebas menentukan pekerjaan, bebas memilih arah dan tujuan hidup, dll. Akan tetapi, arti ”kebebasan” di sini berada dalam koridor positif, membangun, dan aspiratif. Sehingga, seorang yang dewasa, seyogianya mampu mempergunakan ”kebebasannya” dengan sebaik-baiknya, sejujur-jujurnya, tanpa menyinggung kepentingan dan kebebasan pihak lain.
Seorang yang mencuri, tidak dapat mendaulat dirinya ”dewasa” dengan dalih kebebasan. Justru perbuatan mencuri adalah bagian dari ketidak-dewasaan. ”Kebebasan yang dewasa” tidak pernah —bahkan tidak akan, memberi tempat bagi perbuatan negatif. Kenegatifan di sini bersifat uniersal. Dan kita tidak bisa seenaknya menyebut seseorang tidak dewasa. Karena kedewasaan selalu bertautan dengan kerelatifan pandangan.
Dengan mengoptimalkan kebebasan sebagai unsur kedewasaan bertindak, kita dituntut mampu membangkitkan hal-hal baik dan terpuji, menghadirkan peluang dan kesempatan, serta menggali potensi diri yang sebelumnya tidak terlihat. Kebebasan yang terkontrol, senantiasa mampu memberikan kepercayaan diri, memberikan keputusan atas keragu-raguan, serta melipat-gandakan keberanian dalam bertindak.
Kedua adalah kesederhanaan. Dengan kesederhanaan, seseorang diharapkan mampu bersikap tidak berlebihan, dan seadanya. Seseorang yang menganut paham kesederhanaan sebagai unsur kedewasaan bertindak, terlihat dari respon orang lain kepadanya. Sederhana di sini bersifat menyeluruh; sederhana dalam berbicara, sederhana dalam berpakaian, sederhana dalam berteman, sederhana dalam berangan-angan, dll.
Kesederhanaan jauh dari sifat ujub, riya, atau takabur. Orang yang sederhana senantiasa belajar menikmati ”apapun” yang didapatnya, dan belajar merasa puas dengan hasil yang diraihnya. Penganut kesederhanaan tidak pernah mengeluh, rendah diri, malu yang berlebihan, atau menyesal yang kebablasan. Maka dari itu, orang yang sederhana bukanlah orang yang biasa-biasa saja, tapi justru ”orang yang luar biasa”.
Pemahaman kesederhanaan ternyata berkaitan dengan relasi emosi secara langsung, ambisi, dan gairah. Karenanya, kesederhaan adalah mutlak. Karena ia mampu memberikan ketenangan jiwa, kepuasan, dan perasaan bahagia. Dan kita tidak bisa menerjemahkan kesederhanaan dengan satu sudut pandang semata. Karena kesederhanaan menjelajah dari masalah jasmani sampai rohani, dari persoalan duniawi sampai akhirat. Bahkan, seorang penyair dalam sebuah syairnya menyebut kesederhanaan sebagai suatu keindahan tanpa batas, yang tak bisa diugkapkan dengan kata-kata, atau dilukiskan pada selembar kanvas. Akan tetapi, kesederhanaan mampu menenteramkan sebuah negeri, mendamaikan perselisihan, dan menjadikan alunan musik pengamen jalanan menjadi sangat harmoni.
Unsur kedewasaan bertindak yang ketiga adalah adanya rasa tanggung jawab, sebagai konsekuensi dari kebebasan dan kesederhanaan bersikap. Bertanggung jawab di sini artinya mampu menjawab tantangan, menerima apa adanya, berani menanggung risiko, serta tidak mengabaikan hak-hak orang lain yang terkait dengannya. Berani bertanggung jawab adalah sebuah perbuatan yang mulia, dan hanya segelintir manusia yang bisa mengimplementasikannya dalam kehidupan.
Dengan menjiwai ketiga unsur pembentuk ”kedewasaan” di atas, kita bisa menjadi idola, disenangi banyak pihak, dan tidak akan kehabisan teman. Kita menjadi panutan, baik di keluarga, sekolah, tempat kerja, dan lingkungan budaya lainnya.
Memang benar, sifat dewasa cenderung ideal. Dan itu tidak mudah. Juga bukan berarti tidak mungkin. Untuk menjadi seorang yang dewasa dalam bersikap, tentunya memerlukan latihan keras, kontinyu, dan tak kenal lelah. Untuk itu, jangan mengalah sebelum bertanding! Mari kita mencoba bersikap dewasa dalam menghadapi setiap persoalan.***
0 Comments:
Post a Comment
<< Home