Impotensi, Disfungsi Ereksi atau Ejakulasi Dini? : Menyoal Ketidakmampuan Suami
Oleh dr. Dudu Hidayat
Dimuat di Pikiran Rakyat, 22 September 2002
DALAM suatu rumah tangga, hubungan intim suami istri bukan satu-satunya penentu kebahagiaan, namun tak dapat disangkal bahwa hal tersebut merupakan salah satu bagian yang terpenting dalam rumah tangga. Adanya gangguan dalam hubungan tersebut akan memengaruhi keutuhan rumah tangga.
Masalah utama atau paling sering terjadi ialah impotensi. Beberapa definisi dikemukakan untuk impotensi ini, namun yang terpenting, hal tersebut berhubungan dengan ketidakmampuan suami untuk mencapai keadaan yang diinginkan dalam hubungan intim.
Kita mengenal tiga tipe penyebab impotensi yaitu:
- Libido kurang
- Susah tegak
- Cepat keluar
Ketiga gejala ini bisa berdiri sendiri bisa juga timbul bersama-sama. Rangkaian fisiologis dan biokimiawi yang berhubungan dengan ketiga gejala di atas sebetulnya sangat kompleks. Dimulai dari rangsangan erotik yang melibatkan hormon dan saraf yang merupakan rangkaian yang berhubungan dengan libido. Rangsangan erotik ini akan menyebabkan pelepasan NO di daerah dinding pembuluh darah penis. NO tersebut akan mengakibatkan enzim guanilat siklase sehingga akan meningkatkan kadar siklik guanisin monofosfat (cGMP) dan zat inilah yang dengan suatu rangkaian fisiologis tertentu akan menyebabkan ereksi.
Namun, bila cGMP tersebut terus meningkat dalam darah akan menyebabkan keadaan bahaya, yaitu penis akan ereksi terus (priapism). Untuk itu, di dalam darah ada suatu enzim lagi yang merubah cGMP menjadi zat yang tak dapat menimbulkan ereksi yaitu fosfodiesterase5 (PDE5). Tapi bila dalam darah terlalu banyak PDE5 ini, tentu akan mengganggu fungsi ereksi karena akan mengurangi cGMP sehingga tak bisa ereksi.
Mekanisme ereksinya sendiri juga terdiri dari beberapa fase (mekanisme) yaitu fase permulaan dalam keadaan masih lemas (flasid), fase pengisian darah, fase tumesensi (pembesaran), lalu fase ereksi (tegak), dan sampai pada fase rigid (tegak dan keras). Sesudah itu terjadi lagi fase detumensensi (pelemasan kembali) akibat kontra rangsang dari saraf simpatik hormon adrenalin.
Begitu kompleksnya mekanisme yang menyebabkan ereksi dan kelebihan atau kekurangan suatu zat ataupun fungsi suatu organ dapat menyebabkan impotensi. Maka, sebetulnya impotensi merupakan suatu kasus penyakit yang luas. Belum lagi beberapa penyakit yang bisa memengaruhi seperti kencing manis, darah tinggi, dan gangguan psikologis.
Sebetulnya, istilah impotensi sudah kurang memadai, apalagi konotasinya sudah menyempit, yaitu hanya untuk yang benar-benar tidak bisa tegak sama sekali. Istilah baru yang lebih mengakomodasi masalah antara suami istri tersebut yaitu disfungsi ereksi (DE). Disfungsi atau DE ini bisa mencakup pengertian dari yang paling berat yaitu betul-betul tak bisa berdiri sampai pada DE relatif.
Contoh DE relatif, seorang suami yang sebetulnya normal tapi istrinya memerlukan waktu yang panjang untuk mencapai keadaan yang diinginkan, suami tersebut bisa jatuh pada DE relatif. Jadi, hal yang terpenting di sini masalahnya lebih luas yang tujuan utamanya mencapai keadaan yang diinginkan. Bagaimanapun, suami tidak boleh begitu saja melalaikan kewajibannya untuk menyenangkan istri. Suami-suami yang merasa cukup sehat tetap harus memperhatikan hal ini.
**
BEGITU pentingnya masalah ini, dunia medis terus-menerus melakukan penelitian sampai tingkat molekuler. Bahkan untuk menghindari banyaknya DE relatif, sekarang sedang diteliti mengenai obat untuk sensitivitas pada wanita sehingga para istri mempunyai waktu yang pendek untuk mencapai keadaan yang diinginkan.
Di beberapa negara telah dibuat panel penanganan untuk penyakit DE ini, termasuk Indonesia yang dibuat tahun 1999 bersamaan dengan Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan mengenai DE atas rekomendasi Depkes pada peluncuran salah satu obat DE sebagai salah satu persayratan agar dokter yang meresepkan obat itu harus mengikuti pendidikan tersebut.
Sebetulnya, panel penanganan hampir sama secara internasional. Indonesia sendiri dalam membuat panel tersebut lebih banyak mengambil acuan pada pedoman di Amerika (Process Care Model) dari The University of Medicine and Dentistry of New Jersey-Robert Wood Johnson Medical School, 1998 yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.
PB IDI yang dibantu oleh organisasi spesialis yang terkait membuat panel ”Penanganan Disfungsi Ereksi” sebagai pedoman dalam menangani penyakti DE secara rasional. Di beberapa negara yang memperhatikan hal ini dibuat regulasi-regulasi yang memudahkan atau meringankan biaya untuk penanganan DE ini. Di Irlandia misalnya, pemerintah mengeluarkan subsidi bagi suami istri yang terkena musibah DE. Pernah pemerintahnya mengusulkan penurunan biaya subsidi ini, tapi ditolak oleh parlemen karena dianggap sangat penting. Alasan yang mendasari kepentingan negara adalah ketahanan suatu bangsa sangat ditentukan oleh keluarga yang bahagia. Keluarga yang tidak bahagia sulit menopang ketahanan bangsa.
Pada pedoman Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi dari IDI Tahun 1999 terdapat enam tahap perencanaan terapi yaitu:
Tahap I: Identifikasi DE. Konfirmasi adanya DE dan perlu tidaknya pemeriksaan khusus atau perlunya dilakukan rujukan.
Tahap II: Edukasi penderita beserta istri, terutama mengenai:
- Hasil tahap I.
- Penjelasan mengenai DE (faktor risiko, gaya hidup yang berpengaruh, dll.).
- Penjelasan mengenai pilihan diagnostik dan pengobatan yang tersedia.
- Harapan dan kemauan penderita setelah segala penjelasan dimengerti.
Tahap III: Mengubah faktor penyebab DE (bila ada), sebelum atau bersamaan dengan terapi lain:
- Penghentian atau penggantian obat-obatan yang diduga sebagai faktor penyebab.
- Perubahan gaya hidup, seperti perokok berat, alkoholisme atau obat-obatan.
- Terapi faktor penyebab penyakit, dari mulai tetapi psikologis sampai pada pembedahan untuk memperbaiki pembunuh darah.
Tahap IV: Terapi lini pertama: yang paling mudah.
Tahap V: Terapi lini kedua: sudah mulai invasif.
Tahap VI: Peostetis.
Follow up (evaluasi) dan komunikasi dari dokter dan pasien sangat penting serta kemitraan antardokter pasien merupakan usaha pertama dari tujuan pengobatan.
**
DI sisi lain, proses alamiah berupa penuaan (male aging) sering menjadi masalah bagi seseorang. Penuaan tidaklah sama pada semua orang. Dalam hal ketidakmampuan suami, sering disebabkan menurunnya hormon akibat penuaan fisiologis ataupun penuaan dini. Tentunya dalam hal ini bila hal tersebut menjadi masalah, sering diperlukan terapi hormonal atau suplemen yang menunjang hal tersebut.
Hal lain adalah ejakulasi dini (ED) yang dapat dianggap sebagai DE relatif karena kebanyakan bukan karena tak bisa tegak, tapi tak bisa dipertahankan sampai waktu yang diinginkan sehingga jatuh pada DE relatif.
Penyebab terbanyak ejakulasi dini (ED) diperkirakan akibat kurang pengetahuan suami pada malam pertama, suami tidak tahu harus bagaimana melakukannya. Yang dia tahu hanya insting melakukan hal tersebut kemudian selesai begitu saja. Istrinya juga biasanya kurang mengetahui hal tersebut. Dia tak merasakan sesuatu apa pun yang menyenangkan. Hal ini berlangsung terus sehingga istri sulit mendapat keadaan yang diinginkan. Ada yang lama-kelamaan bisa menjadi baik, terutama karena usaha antarkeduanya atau juga suami bisa secara alamiah menjadi lebih panjang durasinya.
Namun, kelihatannya yang menetap menjadi DE relatif jauh lebih banyak. Pada awal 1990-an, di Indonesia pernah diadakan kuesioner mengenai DE ini dan hasilnya kurang lebih 80% menderita DE relatif dengan berbagai tingkatan.
Sementara untuk ED, ada beberapa yang dapat tertolong oleh obat-obatan, tapi banyak pula yang sulit tertanggulangi. Pernah ada suatu cara yang telah dipakai sejak lama, yaitu suatu latihan yang dikembangkan oleh Nieman. Bila cara ini dijalankan dengan tekun, kemungkinan besar akan berhasil. Hanya saja sulit dilakukan dalam arti kata apakah mau melakukan dengan sabar.
Pada ”UK Managemen of Disfungsional Erection” disebutkan, DE merupakan suatu penyakit yang treatable (dapat ditanggulangi). Hanya saja, konotasi ”ditanggulangi” agak berbeda dengan ”sembuh”. Penderita DE —terutama di Indonesia— kebanyakan menginginkan kesembuhan total. Setelah terapi langsung sembuh tanpa harus melakukan apa-apa lagi.
Pada beberapa kasus memang ada yang bisa sembuh total, tapi kebanyakan DE merupakan penyakit kronis seperti darah tinggi atau kelebihan asam urat yang dapat dikatakan tidak dapat sembuh, tapi dapat ditanggulangi. Persepsi lain yang menyulitkan ialah mengenai cara-cara penanggulangan DE ini. Ada beberapa personal yang tidak bisa menerima cara-cara penanggulangan DE yang tersedia. Kendala lain yang cukup berat adalah mahalnya bahan-bahan yang dibutuhkan untuk penanggulangan DE yang semuanya masih tergantung dolar.
Semua kendala di atas serta kurangnya pengetahuan akan membuat penderita DE kurang berminat memilih pengobatan medis secara rasional dan lebih memilih ke pengobatan alterlatif.***
0 Comments:
Post a Comment
<< Home