Etika Berponsel Sering Diabaikan : Negara Maju Jangan Jadikan Rujukan
Oleh Muhtar
Dimuat di Pikiran Rakyat, 15 September 2002
SUATU siang di sebuah ruang kuliah, seorang guru besar tampak serius memberi kuliah kepada mahasiswa program pascasarjana. Sebagai bagian dari masyarakat selular, rupanya sang profesor tak mau ketinggalan, melengkapi dirinya dengan pesawat telepon selular (ponsel). Sewaktu berceramah, pesawat ponselnya ia geletakkan di atas meja dalam posisi on. Tiba-tiba, ketika serius kuliah, pesawat ponselnya berdering. Sang profesor pun bergegas menuju meja dan meraih ponselnya. Kuliah terhenti. Sang profesor dengan santainya berbicara lewat ponselnya di hadapan mahasiswa S-2-nya. Mahasiswa yang sebagian adalah para dosen, dibuat bengong. Tidak berselang lama, ia tutup pembicaraan, kemudian kuliah dilanjutkan.
Tapi keseriusan dan kesakralan kuliah sudah terganggu. Tingkah sang porfesor sudah memecah konsentrasi para mahasiswanya. Konsentrasi kian buyar dan kesakralan kuliah S-2 jadi lenyap manakala pesawat ponsel sang profesor berdering untuk kedua kalinya. Seperti kejadian pertama, sang profesor seolah tanpa dosa dan maaf menghentikan ceramahnya, lalu ia angkat pesawat ponsel dan berbicara di hadapan mahasiswanya. Sebagian mahasiswa masih ada yang tetap bengong. Sebagian lagi tersenyum kecut, geleng-geleng kepala. Hal yang ekstrim malah ada mahasiswa yang meninggalkan ruangan kuliah.
**
KEJADIAN di atas bukanlah cerita fiktif, tapi peristiwa riil yang terjadi di sebuah perkuliahan S-2 perguruan tinggi negeri ternama di Bandung. Mungkin agak muskil, seorang guru besar yang mestinya identik dengan ketinggian ilmu dan kebijakan, termasuk bagaimana secara bijak dan etis menggunakan pesawat ponselnya, malah mempertontonkan satu sikap memalukan. Seorang mahasiswa saja yang melakukan pembicaraan lewat ponsel di tengah-tengah perkualiahan sudah dianggap mengganggu. Lantas bagaimana jika seorang dosen yang di depan puluhan mahasiswa melakukan kegiatan serupa?
Soal etika berkomunikasi lewat ponsel, kita tidak perlu menjadikan negara maju sebagai rujukan. Di dalam negeri sendiri, sejumlah perguruan tinggi secara tak tertulis sudah menetapkan aturan, selama perkuliahan berlangsung, peserta kuliah dilarang mengaktifkan pesawat telepon. Peserta kuliah berarti mencakup mahasiswa dan dosen yang memberi kuliah. Dalam kasus ”sang profesor”, kita tidak tahu apa yang jadi alasan sehingga ia melakukan perbuatan yang kurang etis. Apakah memang punya janji demikian penting? Atau ada pembicaraan proyek yang tak bisa dilepas sama sekali sehingga mengorbankan kewajibannya memberi kuliah? Atau memang ingin sekadar bergaya, ”Beginilah cara berponsel yang benar”.
Apa yang terjadi dengan sang profesor sebenarnya hanyalah salah satu kasus saja dalam dinamika kehidupan masyarakat selular di tanah air. Sejak diperkenalkan tujuh tahun silam, komunikasi selular memang telah menampakkan diri sebagai fenomena menarik, baik dari segi bisnis, revolusi teknologi, maupun perubahan pola gaya hidup masyarakat yang menyertainya. Bisa dikatakan, komunikasi selular telah mampu mengubah perilaku sehari-hari masyarakat Indonesia. Dari perilaku komunikasi yang statis dan kaku menjadi elastis dan mobile.
Dengan sifatnya yang mobile, ponsel menjadikan komunikasi ”tak terputus”, bisa berlangsung kapan saja, di mana saja, sepanjang masih dalam jangkauan jaringan operator. Sejumlah nilai tambah positif bisa didapat dari ponsel. Tak heran, jika perkembangan bisnis telepon selular di tanah berlangsung cepat. Setidaknya hal itu bisa terlihat dari sisi jumlah pengguna. Hanya dalam tempo tujuh tahun, jumlah pelanggan selular di Indonesia (hingga posisi Juni 2002) sudah mencapai 8,2 juta. Bandingkan dengan jumlah pelanggan telepon tetap (fixed phone) yang sudah puluhan tahun beroperasi, namun baru mencapai angka 7,1 juta SST (satuan sambungan telepon).
Sayangnya, perkembangan pesat dari sisi teknologi, bisnis, dan kemudahan masih belum diimbangi pemahaman dan kesadaran dari masyarakat bagaimana menggunakan ponsel secara benar, etis, tidak membahayakan diri dan orang lain, serta memberi banyak nilai tambah. Kita tidak menyebut seluruh komunitas ponsel di tanah air kurang paham atau tidak sadar tentang hal itu. Sangat mungkin, sebagian pengguna ponsel kita sudah tergolong educated. Tanpa mengabaikan kelompok tersebut, kita harus mengakui masih banyak ditemui sisi-sisi ketertinggalan dari sebagian komunitas selular tanah air.
Dari sisi fungsi, masyarakat selular kita lebih cenderung mementingkan fungsi gengsi, fungsi keindahan (lewat tampilan aksesori dan style), daripada fungsi substantif yakni sebagai alat komunikasi bergerak sesuai kebutuhannya. Dari segi bisnis, produsen ponsel benar-benar diuntungkan oleh perilaku pasar Indonesia yang cenderung sering gonta-ganti ponsel dan boros. Dari sisi ini, kita bisa melihat betapa masyarakat kita cenderung memainkan peran secara baik sebagai ”masyarakat konsumen” dengan resiko memboroskan devisa negara.
Di samping itu, sisi lain kelemahan komunitas ponsel kita adalah keengganan untuk membaca buku petunjuk yang disediakan oleh produsen ponsel. Akibatnya, banyak fitur-fitur atau layanan bernilai tambah tidak tergali dan terkuasa secara optimal. Termasuk juga di dalamnya keengganan untuk terus mengikuti perkembangan di seputar industri selular dan pernik-pernik yang terjadi di seputarnya. Padahal, jika sedikit rajin saja membaca butu petunjuk yang disediakan produsen, banyak informasi yang bisa kita serap dan menjadi bahan bermanfaat dalam melakukan aktivitas lewat pesawat ponsel kita.
Salah satunya adalah menyangkut etika atau atauran-aturan bagaimana seseorang sebaiknya menggunakan pesawat ponsel. Seperti dalam kasus profesor di ruang kuliah, kita masih sering menjumpai atau malah kita sendiri tanpa sadar melakukan pelanggaran-pelanggaran etika berponsel. Akibat diabaikannya etika berponsel, tidak saja banyak orang lain yang dirugikan, tetapi kita yang menggunakannya juga tidak mendapatkan nilai manfaat dan nilai tambah yang optimal.
**
BERKAITAN dengan ketentuan atau etika bertelepon, para pengguna ponsel sebaiknya memahami bahwa ada beberapa momen kejadian atau tempat yang menuntut kita tidak melakukan komunikasi lewat ponsel, sebut saja misalnya dalam ruang perkuliahan atau seminar. Di acara-acara demikian, di mana kekhidmatan dan konsentrasi amat dibutuhkan, alangkah baiknya pesawat ponsel dimatikan. Jika pun tidak dimatikan, sebisa mungkin nada panggil (ringtone) yang semula membisingkan diganti dengan getar saja. Namun jika pesawat ponsel diaktifkan, pemilik ponsel sebaiknya tidak melakukan pembicaraan di tengah-tengah berlangsungnya kuliah atau seminar. Jika terpaksa harus menjawab panggilan, sebaiknya keluar ruangan sehingga tidak mengganggu peserta lain. Dering ponsel saja sudah demikian mengganggu, apalagi pembicaraan yang dilakukan penggunanya.
Hal serupa berlaku di ruang rapat, tempat ibadah (seperti masjid, gereja, atau wihara), serta rumah sakit. Di tempat-tempat tersebut komunikasi lewat ponsel tidak dilarang, tapi sebisa mungkin dilakukan dengan beretika, tidak terlalu mempertontonkan diri atau dengan suara keras. Bahkan, di saat-saat khusus seperti shalat jumat di masjid atau kebaktian di gereja, sebaiknya ponsel dimatikan saja. Tujuannya tak lain agar konsentrasi kita selama melakukan ritual ibadah tidak terganggu sama sekali. Bagaimana pun, adanya panggilan dalam bentuk ”getaran” dan kita ketahui, sudah mengusik perhatian kita sehingga kekhusukan ibadah jelas jadi rusak.
Seperti juga dalam kehidupan sehari-hari, berbicara santun lewat ponsel, tidak berteriak-teriak, atau banyak tingkah sehingga mengundang perhatian massa merupakan bagian dari salah satu etika berponsel. Termasuk juga kita dalam berkomunikasi lewat pesan singkat SMS (short message service). Baik saat mengirim maupun menerima SMS, sebaiknya kita melihat dulu siapa orang yang jadi lawan komunikasi kita. Terhadap orang tua atau atasan kita (bos), sangat tidak etis mengirim pesan SMS dengan bahasa singkat, slank, bergaya funky, atau kamus SMS. Misalnya untuk menyampaikan ucapan terima kasih, jangan gunakan ”thx” atau ”thank u” karena nilai rasanya kurang sopan. Sebaiknya tetap saja gunakan ”terima kasih”. Tidak efisien memang. Tapi, ada masanya efisiensi harus disingkirkan.
Hal yang juga tak boleh diabaikan adalah kebiasaan buruk pengguna ponsel selama mengemudi kendaraan, menumpang pesawat terbang, berada di ruang operasi, atau sekitar SPBU (stasiun pengisian bensin umum). Kita sering melakukan atau menyaksikan orang lain, tangan kanan memegang kemudi sementara tangan kiri menempelkan ponsel ke telinga. Perilaku demikian jelas-jelas sangat berbahaya, tidak saja bagi diri sendiri, tapi juga pengguna jalan lain. Di sejumlah negara Eropa, sudah ada undang-undang, berbicara lewat ponsel sambil mengemudi adalah dilarang, tapi di Indonesia aturannya masih belum ada.
Tidak adanya undang-undang dan aturan bukan berarti kita bebas melakukan apa saja secara tak beradab. Alangkah baiknya kita tetap memperhatikan etika dan aturan main yang seyogyanya dijadikan kesepakatan bersama demi kebaikan bersama pula. Memang akibat dari itu ada saat-saat kita harus kehilangan waktu karena tidak bisa berkomunikasi atau menjawab panggilan telepon. Tapi itulah konsekuensinya, meski ponsel memungkinkan kita bisa leluasa berkomunikasi secara mobile, namun tetap saja harus mengikuti aturan dan etika yang berlaku. Tulisan ini bukan sebagai sebuah gugatan. Hanya sekadar mengingatkan yang mudah-mudahan bisa memberi banyak manfaat. ***
0 Comments:
Post a Comment
<< Home