Risiko Perceraian terhadap Masa Depan Anak
Oleh Arsilis
Dimuat di Pikiran Rakyat 10 Juni 2002
DATA perceraian tampaknya sebanding dengan tingkat karier wanita yang telah menciptakan suasana mandiri sebagai dampak dari falsafah "persamaan hak". Karena mereka tambah insyaf akan haknya itu, sehingga kalau diperlakukan "semau gue" oleh suaminya, akan menuntut cerai tanpa dicemasi nafkah keluarga, karena toh telah mampu mandiri, mencari/memperoleh nafkah tanpa "si dia". Malah yakin pula mudah mengasuh/mengatur keluarga tanpa ayah, lebih-lebih istri yang kariernya lebih memberikan prospek tinggi bagi masa depan keluarga ketimbang suami.
Sekarang ada kesan, istri yang mandiri bisa menanggulangi problem anak sampai dewasa tanpa suami karena cerai. Apakah benar? Oke dari segi material, tetapi dari segi moril, belum tentu. Ingat! Yang disebut anak ialah manusia yang tidak hanya terdiri dari raga, tapi juga emosi. Sedangkan emosi anak belum lengkap kalau tidak disertai faktor yang mempunyai andil terhadap kehadiran mereka ke bumi, yatiu "ayah" dan "ibu". Karena itulah, bagaimana pun besarnya fasilitas material, tetap tidak kuasa menanggulangi emosi anak yang anjlok akibat perpisahan mereka.
Biasanya cerai lebih banyak menimbulkan persepsi yang negatif daripada positif. Masyarakat akan menilainya serta memvonisnya sebagai peristiwa dengan latar belakang hina/jelek, meskipun jarang diucapkan secara gamblang. Bagaimanapun kewibawaan suami atau istri, tetapi kalau telah bercerai, akan menurunkan pamornya sebagai ayah atau ibu. Soalnya menjelang cerai umumnya sering terjadi suasana cekcok/perang mulut. Ini sedikit banyak akan menghantui anak. Artinya, mereka mudah mencurigai banyak relasi sebagai pihak yang menuduhnya sebagai ketrunan yang kurang/tidak baik, meskipun belum tentu akan bersikap demikian.
Meskipun kadang-kadang bisa dimaklumi, perceraian merupakan titik trauma yang membuka lembar kehidupan baru serta mempengaruhi setiap perilaku, baik secara individu, dalam keluarga, maupun dengan lingkungan. Faktanya memang begitu meskipun tidak semua perceraian akan mengalami nasib seperti itu.
Banyak pakar psikologi perkembangan anak di seluruh dunia yang memperbincangkan risiko perceraian suami-istri terhadap masa depan mental anak. Soalnya dengan perceraian, mental anak yang telah terbina/terbentuk, menjadi down, malah depresi, yang sulit diatasi atau dinetralisir segera. Walaupun anak --yang belum baligh, umumnya tampak pasrah saja, tetapi sesungguhnya nurani mereka berontak/terlena, mengapa itu sampai terjadi. Ini akan membuat gejolak emosi dan jiwanya sangat sensitif, karena logikanya belum dewasa, sehingga akan bertindak atau menangkap peristiwa sesuai dengan apa yang tampak.
Dalam pendidikan, konsentrasi mereka jadi terpecah, lebih-lebih ketika baru saja melihat perceraian. Walaupun fasilitas hidup memadai/menunjang, tetapi karena telah kehilangan organ keluarga, ya ... tetap saja terpecah. Berdasarkan riset, banyak anak yang gagal naik kelas hanya karena baru saja dihadapkan pada perceraian orangtuanya. Mereka jadi down dalam menangkap materi pelajaran, sehingga hasil ujiannya pun jelek-jelek.
Bukan itu saja. Banyak anak korban perceraian bersikap minder, meskipun kalau ditanyakan, mereka menjawab, "Ah ... nggak!" atau "Biasa saja" yang diperkirakan akan mempersoalkan atau mempertanyakan yang bertalian dengan perceraian, seperti "Bagaimana dengan ibu?" atau "Ayah sering berkunjung?". Ini tampak jelas setiap mereka menjumpai keluarga yang terdiri ayah, ibu, dan anak, yang sedang berjalan ke pasar swalayan, misalnya.
Pecahnya konsentrasi pun membuat mereka sering merasa bersalah kalau lebih dekat pada ayah atau ibu saja. Sedangkan untuk bersikap sama, jelas susah, karena mereka telah diputuskan untuk lebih banyak tinggal dengan satu di antara keduanya. Hampir tidak ada mereka yang tinggal dengan ayahnya/ibunya secara bergantian, meskipun dengan jarak rumah tinggal yang berdekatan.
Kalaupun terjadi, tentu hanya akan mengganggu kegiatan anak dalam menatap masa depan, seperti pendidikan/kesehatan. Waktu yang seharusnya untuk belajar, tersita untuk pergi ke rumah ayah/ibu secara bergantian setiap periode. Singkatnya mereka seperti dituntut adil dalam bersikap dan menghormati.
Malah untuk jangka panjang, perceraian bisa mempengaruhi seksual anak. Di Amerika, misalnya, sering terjadi praktek "homo"/"lesbian" yang ketika ditelusuri ternyata akibat trauma perceraian orangtua. Mereka mencemaskan pernikahan secara normal hanya akan mengulangi peristiwa yang dialami orangtuanya.
Memang di Indonesia, perceraian tidak sampai menjurus demikian. Tetapi minimal bisa dijadikan pelajaran bahwa meskipun perceraian merupakan hak setiap suami atau istri, tetapi mengandung risiko yang tidak tanggung-tanggung. Bagi yang telah terlanjur bercerai tentu harus tetap bertekad untuk menanggulangi anak dari segala dampak perceraian terhadap perkembangan mentalnya, agar potensi dan bakat mereka tetap tersalurkan demi mencapai cita-citanya.
Banyak filosof yang menyatakan, suami atau istri yang punya perasaan halus/tajam akan menganggap perceraian sebagai pengkhianatan terhadap anak. Malah ada filosof yang berani mengatakan bahwa perceraian kadang-kadang bisa dianggap sebagai pembunuhan pelan-pelan terhadap masa depan anak. Karena itu, suami atau istri yang bijaksana akan pikir panjang buat bercerai. (Arsilis).***
0 Comments:
Post a Comment
<< Home